Test Footer

LightBlog

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, August 31, 2012

Mengenal Suku Kaili di Indonesia

SUKU KAILI SULAWESI TENGAH

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang berasal dari berbagai macam suku bangsa. Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis/suku bangsa, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, yang dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu.
Salah satu dari 300 kelompok etnis tersebut ada sebuah suku yang bernama suku Kaili yang berada di Sulawesi Tengah. Suku bangsa Kaili merupakan penduduk mayoritas di propinsi Sulawesi Tengah, di samping suku-suku bangsa besar lainnya seperti DampelasKulawi, dan Pamona. Orang Kaili dan Dampelas menganut agama Islam, sedangkan orang Kulawi dan Pamona merupakan penganut agama Kristen. Selain itu secara keseluruhan masih ada suku-suku bangsa lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya, yaitu Balaesang, Tomini, Lore, Mori, Bungku, Buol Toli-toli, dan lain-lain.
Dengan mengetahui dan sedikit mempelajari suku Kaili serta kebudayaan masyarakat suku Kaili ini, kita dapat mengetahui tentang kondisi dan situasi masyarakat suku Kaili. Selain itu pula dengan mempelajari kebudayaan suku Kaili ini kita dapat menentukan strategi dan metode dakwah apa yang akan kita sampaikan pada mereka jika suatu saat nanti kita diperkenankan bertemu dan berhadapan dengan mereka.
 
PEMBAHASAN
  1. Sejarah Suku Kaili
Suku Kaili adalah salah satu suku bangsa yang mendiami lembah Palu. Atau bisa disebut juga sebagai suku asli lembah Palu.  Kawasan Lembah Palu dan sekitarnya beberapa abad yang lampau merupakan dataran air sungai Palu, dan merupakan suatu wilayah yang menjadi ciri khas kebudayaan dan pemerintahan. Adapun lembah Palu ( saat ini dikenal dengan kecamatan Palu Timur dan Palu Barat, kelurahan Tondo, Petobo, dan kecamtan Marawola) adalah merupakan bagian dari kerajaan Palu yang dahulu masuk dalam lingkungan kerajaan Gowa.
Ada sejumlah versi mengenai asal-usul nama suku “Kaili” ini. Secara kebahasaan, kata kaili berasal dari nama pohon. Pohon kaili ini tumbuh subur di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok kurang lebih 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Berdasarkan cerita daerah setempat, di dekat kampung Bangga tumbuh menjulang pohon kaili yang sering dijadikan panduan bagi para pelaut dalam menentukan arah menuju pelabuhan Banggai.

  1. Deskripsi Lokasi
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten DonggalaKabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung GawaliseGunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-MoutongKabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

  1. Unsur Kebudayaan
  1. 1.      Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari 20 bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, suku Kaili tetap memilki lingua franca ( bahasa pemersatu), mereka menyebutnya sebagai bahasa “Ledo” yang artinya “Tidak”.  Bahasa Ledo ini dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi, Pandere) bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahasa Da’a (Jono’oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare’e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti “tidak”.

  1. 2.      Sistem Teknologi
    1. Sistem Teknologi Transportasi dan Komunikasi
Di abad sekaliber dan se-modern saat ini, ada beberapa suku Kaili yang masih sangat tertinggal dengan akses teknologi modern karena kehidupan masyarakat yang terasing dan terisolasi dari peradaban modern. Disamping kondisi desa penduduk Kaili dengan perbukitannya yang terjal dan sulitnya medan, transportasi untuk sampai ke desa ini terbilang sulit didapat. Untuk mencapai desa ini hanya bisa dengan menggunakan sepeda motor (ojek) dari kota Palu (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan) yang jaraknya kurang lebih 80 km, ditambah berjalan kaki sejauh 10 km menapaki bukit terjal.
Suku Kaili yang hidup dipedalaman atau dikawasan hutan mereka tidak memilki akses teknologi selayaknya suku Kaili yang tinggal di daerah pinggir kota. Akan tetapi mereka masih tetap memilki alat tradisional berupa gerobak  yang mereka simpan dibawah tempat tidur mereka.
  1. Peralatan upacara
Suku Kaili memiliki beberapa upacara adat tertentu, diantaranya adalah upacara adat pengobatan untuk ibu yang sedang hamil (Novero). Peralatan upacara yang harus dipersiapkan adalah: Suampela, sebuah tempat penyimpanan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah anyaman dari ranting bambu atau kayu tempat sesajian itu disimpan. Kulili, yaitu kayu yang dibuat berbentuk parang dan diberi warna belang hitam putih. Ose ragi, yaitu beras yang sudah diberi warna-warni. Pekaolu nuvayo, yaitu tempat berlindungnya bayangan. Tujuan pembuatannya dalah sebagai tempat roh berlindung bila mendapat gangguan makhlus halus. Toge, adalah peralatan upacara yang berbentuk tombak dan kuda berkepala dua yang dibuat dari janur. Tuvu mbuli. Mbara-mbara ( barang perhiasan/ pakaian adat). Mbara-mbara  terdiri dari: vuya (sarung), baju dan bulava (emas). Dula pulangga, (dulang berkaki), alat ini digunakan sebagai tempat menyimpan mbara-mbara. Banja mpangana (mayang pinang). Serta daun dan bunga yang wangi seperti : bunga Mbalu, daun pandan, Tamadi dan Tulasi.
Upacara adat kematian (molumu) ialah masa menyemayamkan jenazah, di mana mayat disimpan dalam peti kayu yang tertutup rapi. Adapun perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu); kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah : ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung.
Upacara Naik Ayunan (Nosaviraka Ritora) yang dilakukan untuk seorang bayi agar terhindar dari gangguan makhluk halus dan dari kakak-kakaknya yang masih nakal. Upacara ini berlangsung dalam rumah, dan diperlengkapi dengan bahan-bahan upacara antara lain 4 macam makanan dari beras ketan, masing-masing disimpan di bawah ayunan, tengah rumah, satu baki untuk bagian dukun dan satu baki lagi untuk pangolo nu ngana kodi (bagian untuk bayi).
Ada pula vati dalam keluarga pada masyarakat Kaili yang mengadakan upacara Nompesuvuki ngana (mengunjungi anak) yaitu suatu upacara di mana dari pihak nenek perempuan dari ayah sang bayi mengadakan kunjungan kepada bayi dengan satu upacara tertentu pula. Upacara ini bertujuan agar anak tidak berpenyakit mata (nageri), suka menangis (marenge), dan berwatak jorok (matontoru). Peralatan yang digunakan adalah sejumlah bahan makanan dan keperluan dapur, seperti makanan dan sayur masing-masing satu belanga, kayu api, sagu, beras, pisang satu sisir, dan daun pisang 7 lembar. Alat-alat dapur antara lain tavolo (alat peniup api yang dibuat dari bambu), supi (penjepit arang api), sendok nasi, dan sayur masing-masing satu buah.
Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai) dengan menggunakan peralatan upacara berupa mantale njaka (upacara sesajian) dari sejumlah bahan makanan dan bahan-bahan perlengkapan adat lainnya. Materi-materi yang dipersiapkan di sini ialah punti jaka (pisang rebus), koluku nikou (kelapa parut), marisa nete (lombok kecil), hati kerbau yang sudah dibakar (sate), nasi masak, dan darah kambing/ayam yang disembelih. Benda-benda adat lainnya ialah sabala mesa (1 lembar sarung tenunan zaman dulu), samata doke (satu mata tombak), somata tinggora (satu mata tombak yang berakit), tatalu suraya ada (tiga piring adat), tatalu tubu (tiga buah mangkok), sang dula (satu dulang tempat penyimpanan barang-barang tersebut di atas).
Upacara Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili (Nosuna / khitan). Upacara ini sudah menjadi adat dan tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam hingga dewasa ini, secara turun temurun. Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun pada bahagian ini hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak laki-laki yang dilakukan menjelang anak berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang belum memasuki puber atau balig (nabalego).
  1. Alat Musik
Peralatan musik tradisional suku Kaili terbuat dari bahan alam. Salah satu peralatan musik suku Kaili adalah “Kakula”. Namun jauh sebelum alat musik ini masuk, daerah ini sudah mengenal alat musik yang terbuat dari kayu yang pipih dengan panjang kira-kira 60 cm dan tebal 2 cm serta lebar 5 sampai 6 cm disesuaikan dengan nada. Alat musik tersebut juga sering mereka katakan sebagai gamba-gamba. Gamba-gamba kayu adalah salah satu bentuk embrio atau awal dari musik kakula karena nada yang ada pada musik kakula yang terbuat dari tembaga/kuningan persis dengan nada yang ada pada gamba-gamba atau Musik Kakula Kayu.
Dan alat musik lainnya seperti Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), dan suli (suling).

  1. 3.      Sistem Mata Pencaharian
Suku Kaili penduduk asli Sulawesi Tengah adalah sebagai penduduk agraris. Suku Kaili memilki mata pencaharian sebagai petani, yang bercocok tanam di sawah, diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.
  1. 4.      Sistem Kemasyarakatan
Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).
Pola perkampungan suku bangsa Kaili terdapat tiga pola pemukiman adat, yakni Ngapa (pola permukiman mengelompokan padat), Boya (pengelompokan komunitas kecil menyebar), dan Sampoa (tempat berlabuhan). Dalam sistem kekerabatan suku Kaili bersifat bilineaal, artinya keturunan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Ciri khas menandai jati diri suatu masyarakat adalah kepemilikan tradisional, seperti upacara adat sebagai ekspresi pengungkapan jati diri. Upacara ditentukan oleh jati sesuai status sosial dan atau warisan yang pernah diterima dari orang tua atau nenek moyangnya. Upacara nobou yakni upacara tolak bala atau upacara penyembuhan terhadap berbagai jenis penyakit biasanya upacara ini dilakukan pada kalangan raja dan bangsawan. Wujud kebudayaan masyarakat tercermin pula dalam peralatan tradisional khususnya yang berhubungan peralatan rumah tangga.
Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong) serta mengembangkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.
Dalam masyarakat dikembangkan adab sopan santun dalam hubungan kekerabatan, misalnya bagaimana harus bersikap, berkata-kata dan bertindak terhadap orangtua atau mereka yang lebih tua usianya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka yang tergolong muda harus bersikap sopan dan hormat kepada golongan yang lebih tua usianya, serta mereka yang berasal dari golongan yang lebih tinggi status sosial dan kedudukannya dalam masyarakatnya. Sebaliknya golongan tua harus dapat bersikap hati-hati dalam memberikan contoh yang baik untuk diteladani oleh para generasi muda.
Demikian pula masyarakat Suku Kaili mengembangkan sopan santun dalam tata cara pergaulan yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Adat sangat membatasi dan mengatur pergaulan muda-mudi. Mereka tidak dibenarkan bertemu berduaan tanpa didampingi oleh orang tua, karena itu perkawinan diatur oleh orang tua dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Jika adat ini dilanggar, maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan sejumlah hewan tergantung dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.
Seiring berjalannya masa, dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah saat ini telah dikenal sistem kepemimpinan formal, dan informal. Kepemimpinan formal dalam desa di daerah Sulawesi Tengah dikepalai oleh seorang kepala desa. Kepala desa ini dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh sekretaris desa, kepala urusan-urusan dan kepala dusun. Kemudian kepemimpinan secara informal diketuai oleh kepala adat dan anggota adat lainnya (tokoh-tokoh adat), pemuka-pemuka agama (para ulama, imam dan pembantu-pembantunya), dan organisisasi sosial kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi wanita, dan sebagainya.

  1. 5.      Sistem Pengetahuan
Suku Kaili banyak mendiami tempat-tempat dan daerah-daerah yang berbeda dikawasan Sulawesi Tengah, diantara sekian banyak masyarakat suku Kaili terdapat sebuah rumpun masyarakat suku Kaili yang dikenal dengan suku Kaili Da’a yang berbahasa Da’a di Jono’oge Sulawesi Tengah.
Hingga di abad teknologi muktahir yang berkembang pesat di kota-kota dimana kita tinggal, Orang Kaili Da’a ini tidak pernah mengadopsi satu bagian pun dari kemajuan teknologi itu. Anak-anak mereka bertumbuh apa adanya dengan pengetahuan yang minim yang tak lebih dari miskinnya peradaban kebudayaan Kaili. Kesulitan akses ini yang menjadikan mereka tetap terasing dan nyaris terisolasi dari peradaban modern.
Pertengahan Juni 2008, PESAT mengirimkan dua orang tenaga pengajarnya untuk membangun generasi baru Suku Kaili Da’a, membangun sekolah darurat dan mengajarkan pendidikan di sana. Penghujung Agustus 2008, sekolah perdana di suku terasing ini pun meluncur, dan antusias anak-anak
Awalnya sekolah diadakan di Bantaya, istilah untuk balai pertemuan adat bagi Suku kaili, kini Sedikitnya ada 50 anak usia sekolah berbaris rapih penuh semangat setiap pagi memasuki dua ruang kelas di “sekolah baru” mereka yang ala kadarnya, yang dinding dan lantainya terbuat dari papan dan beratap rumbia. Satu bangunan sekolah yang berdiri agak miring di tengah sabana di tanah datar di punggung bukit hasil gorong-royong masyarakat Kaili. (tulisan Feature_Radio PESAT)
Adapun Pendidikan moral masyarakat suku Kaili secara umum ditanamkan di dalam lingkungan keluarga secara ketat. Yang paling berperan dalam masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab itu anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada ibu daripada ayah mereka.
  1. 6.      Sistem Kesenian
Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sastra lisan dalam bentuk cerita rakyat tidak lain merupakan pencerminan atas kondisi suatu masyarakat yang didalamnya terkandung nilai kehidupan, petuah kehidupan serta berupa nasehat dari yang tua kepada yang muda serta perlunya manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan dimana mereka tinggal.
  1. 7.      Religi
Sebagian besar dari mereka sudah memeluk agama Islam terutama yang menetap di daerah pantai, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pedalaman menganut agama Kristen atau kepercayaan nenek moyang. Mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di samping penduduk asli suku Kaili, di Sulawesi Tengah juga terdapat suku bangsa pendatang, seperti orang Bugis dari selatan serta orang Gorontalo dan Minahasa dari sebelah utara.
Hubungan dengan suku-suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan membawa pengaruh pula dalam hal agama, dalam hal ini agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Sulawesi Selatan. Bukti sejarah menyatakan bahwa masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah berasal dari daerah Minangkabau melalui Makassar, yang dibawa oleh seorang mubalig pada saat sedang berdagang. Diperkirakan masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah pada abad XVII, yang mana saat itu penduduk setempat masih memeluk kepercayaan nenek moyang yaitu animisme dan dinamisme.
Namun, kepercayaan animisme dan dinamise serta kepercayaan-kepercayaan lainnya seperti kepercayaan terhadap orang yang memiliki ilmu hitam dan dapat membunuh musuhnya dengan kekuatan roh jahatnya, percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami dan menguasai tempat-tempat tertentu, dan mereka dianggap sebagai dewa penguasa (pue) tempat-tempat tersebut, mempercayai adanya benda-benda sakti, seperti tana sanggamu (tanah segenggam) yang diyakini sebagai salah satu benda sakti, tidak serta merta langsung hilang begitu saja. Penduduk yang bermukim di daerah pedalaman, atau mereka yang termasuk kelompok terasing di Sulawesi Tengah, seperti suku bangsa Tolare, Wana, Seasea, dan Daya masih memegang kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Dengan masuknya agama Islam sebagai agama mayoritas serta agama-agama lain (terutama Kristen), kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tersebut belum hilang sama sekali, bahkan tumbuh dan berkembang bercampur dengan agama dalam bentuk sinkretisme. Hal ini dapat disaksikan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat yang sudah merupakan perpaduan antara sistem kepercayaan lama dan agama. Meskipun demikian upacara-upacara yang dianggap kurang sesuai dengan agama berangsur-angsur hilang dalam bentuk aslinya, tinggal sisa-sisanya yang dikembangkan dalam simbol-simbol tertentu. Keadaan seperti ini terutama berlaku dalam suku-suku bangsa yang sudah memeluk salah satu agama.

  1. D.    Nilai- nilai Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, dan mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat serta kearifan lokal yang melingkupi kehidupan penduduk suku Kaili.
Salah satu nilai kehidupan yang berbunyi nilinggu mpo taboyo merupakan manifestasi keakraban hubungan kekerabatan. Pada hakikatnya nilai ini dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang tidak menginginkan adanya jarak atau perbedaan yang dalam antara sesama kerabat, dalam hal ini perbedaan kaya dan miskin. Biasanya mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan dalam hidup selalu menolong kerabatnya agar dapat hidup lebih layak.
Terdapat pula nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.

  1. Strategi Dakwah
Melihat dan memperhatikan segala gejala dan fenomena kebudayaan yag terjadi pada masyarakat suku Kaili, kita dapat menentukan suatu strategi dakwah yang sesuai untuk menyikapi kebudayaan dan kondisi setempat.
Rasa seni adalah penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia dan merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah swt yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai jiwa ajaran Islam. Dari seni inilah timbul berbagai macam kebudayaan beserta konten budaya yang berbeda-beda di setiap tempat.
Permasalahan budaya inilah yang juga menjadi bahan dan sasaran dakwah. Sinkretisme budaya yang terjadi pada suku Kaili ini khususnya. Kepercayaan-kepercayaan dari nenek moyang bercampur dengan ajaran agama dalam bentuk upacara-upacara adat setempat, meski demikian hingga saat ini upacara-upacara yang tidak sesuai dengan agama telah berangsur-angsur hilang, akan tetapi simbol-simbol tertentu dari budaya sinkretisme itu masih terus berkembang.
Disinilah para da’i dan muballigh memainkan perannya yang sangat penting demi menghilangkan budaya sinkretisme yang jauh dari nilai-nilai Islam. Suatu kebudayaan yang telah menjadi ciri khas suatu tempat tidak harus serta merta dihilangkan begitu saja jika tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun dibutuhkan proses untuk hal itu, kebudayaan setempat harus tetap dihargai untuk ada, akan tetapi hal-hal dalam kebudayaan tersebut yang tidak sesuai dengan ajaran Islam bisa kita rubah dan ganti perlahan dengan hal-hal yang berasal dan berasaskan Islam. Dengan demikian ciri khas kebudayaan masih tetap ada namun ada beberapa hal yang masuk menggantikan budaya setempat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan dakwah kultural inilah para da’i akan dapat menghadapi problem kebudayaan yang mereka temui di setiap daerah yang memiliki budaya dan adat berbeda-beda. Dalam dakwah kultural ini juga akan dibutuhkan media yang dapat mengembangkannya, khususnya yang berkaitan dengan seni dan budaya. Karena disaat kita memiliki dan menguasai sebuah media, disitulah kita akan menemui dan diantarkan pada kesuksesan pencapaian rencana kita. Di samping itu, para juru dakwah juga harus diberikan wawasan agar mampu melihat kultur dan budaya lokal dari sisi dalam bukan dari sisi luarnya. Dengan perspektif semacam ini berarti mubaligh dan da’i dapat terbebas dari beban psikologis jika harus menjadikan kultur dan budaya lokal sebagai media berdakwah. Jika usaha ini terus dikembangkan maka tidak tertutup kemungkinan lahir para da’i dan mubaligh yang lebih menekankan pentingnya kearifan lokal (local wisdom).
Satu hal lagi yang juga harus diingat dan diperhatikan adalah berdakwah melalui pendidikan. Karena sebagaimana telah diketahui sebelumnya, bahwasannya masyarakat suku Kaili ini tidak semuanya hidup dipinggir kota yang bisa mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mudah. Masih ada beberapa masyarakat suku Kaili yang hidup dipedalaman dan jauh dari kota, sehingga akses pendidikan dan teknologi pun sulit menjangkau daerah tersebut. Dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat suku baik dari mulai yang masih kanak-kanak hingga orang dewasa dan orang tua pun masih sangat diperlukan. Karena lewat pendidikan inilah kita juga dapat memberikan pengajaran dan ilmu kepada mereka tentang Islam yang sebenarnya serta nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang ada pada agama Islam.
 
  1. Kesimpulan
Indonesia negara seribu pulau, memiliki beratus macam suku dan bahasa. Namun hanya kesamaan agama dan bahasa yang dapat menyatukannya. Di tengah-tengah kehidupan modern dan global saat ini, para da’i dan muballigh dihadapkan pada permasalahan dakwah yang semakin kompleks dan tidak mudah. Beragamnya suku bangsa Indonesia juga menjadi tantangan sendiri bagi juru dakwah. Menghadapi kebudayaan-kebudayaan yang berbeda satu sama lain dan berbeda pula menurut sudut pandang agama Islam.
Juru dakwah dihadapkan pada satu permasalah kebudayaan ini, terjadinya peristiwa lintas budaya yang memberi peluang terjadinya proses saling mempengaruhi antarbudaya sehingga memunculkan sifat dan bentuk budaya yang akulturasi, asimilasi, simbiotik, adoptasi, dan sinkretisme. Dari proses inilah budaya daerah berkembang karena adanya pengaruh dari budaya luar. Budaya setempat berkurang dan hilang namun justru menimbulkan budaya baru yang terkadang jauh dari nilai-nilai agama (Islam).
Hal itulah yang juru dakwah hadapi saat ini. Akan tetapi ketika juru dakwah ini sudah mengetahui tentang kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa di Indonesia ini, maka mereka akan dengan mudah memetakan dan menetapkan dakwah apa yang sesuai untuk menghadapi masyarakat yang memliki kebudayaan berbeda satu sama lainnya. Karena itu mempelajari kondisi mad’u beserta tempat dimana mereka tinggal dan berasal sangat dibutuhkan oleh semua juru dakwah demi keberhasilan misi dakwah Islam.



Daftar Pustaka

Suku Kaili Palu

Suku Kaili

Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun mendiami daerah Lembah Palu, Parigi, Teluk Tomini, dan pesisir Tojo, Ampana, dan Poso. Suku Kaili tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.[rujukan?]
Untuk menyatakan “orang Kaili” disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix “To” yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi. Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.

Bahasa

Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata “Ledo” ini berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da’a (Jono’oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare’e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti “tidak”.

Kehidupan

Mata pencaharian utama masyarakat Kili adalah bercocok tanam disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.

Budaya

Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen, upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran agama Islam.
Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili antara lain : Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling).
Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabetetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan (Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar budaya yang dibawah pengawasan Pemerinta Daerah.
Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).

Pemerintahan

Pemerintahan pada masa dahulu, sudah dikenal adanya struktur organisasi pemerintahan didalam suatu Kerajaan (KAGAUA) dikenal adanya MAGAU (Raja), MADIKA MALOLO (Raja Muda). Didalam penyelenggaraan pemerintahan Magau dibantu oleh LIBU NU MARADIKA (Dewan Pemerintahan Kerajaan) yang terdiri dari: MADIKA MATUA (Ketua Dewan Kerajaan/Perdana Menteri) bersama PUNGGAWA (Pengawas Pelaksana Adat/ Urusan Dalam Negeri), GALARA (Hakim Adat), PABICARA (Juru Bicara), TADULAKO (Urusan Keamanan/ Panglima Perang) dan SABANDARA (Bendahara dan Urusan Pelabuhan).
Disamping dewan Libu nu Maradika, juga ada LIBU NTO DEYA (Dewan Permusyawaratan Rakyat) yang merupakan perwakilan Rakyat berbentuk KOTA PITUNGGOTA (Dewan yg Mewakili Tujuh Penjuru Wilayah) atau KOTA PATANGGOTA (Dewan yg Mewakili Empat Penjuru Wilayah). Bentuk Kota Pitunggota atau Kota Patanggota berdasarkan luasnya wilayah kerajaan yang memiliki banyaknya perwakilan Soki (kampung)dari beberapa penjuru. Ketua Kota Pitunggota atau Kota Patanggota disebut BALIGAU.
Strata sosial masyarakat Kaili dahulu mengenal adanya beberapa tingkatan yaitu MADIKA/MARADIKA, (golongan keturunan raja atau bangsawan),TOTUA NUNGATA (golongan keturunan tokoh-tokoh masyarakat), TO DEA (golongan masyarakat biasa), dan BATUA (golongan hamba/budak).
Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Tanah Kaili mempunyai beberapa raja-raja yang masing2 menguasai daerah kekuasaanya, seperti Banawa, Palu, Tavaili, Parigi, Sigi dan Kulavi. Raja-raja tersebut mempunyai pertalian kekeluargaan serta tali perkawinan antara satu dengan lainnya, dengan maksud untuk mencegah pertempuran antara satu dengan lainnya serta mempererat kekerabatan.
Pada saat Belanda masuk kedaerah Tanah Kaili, Belanda mencoba mengadu domba antara raja yang satu dengan raja lainnya agar mempermudah Belanda menguasai seluruh daerah kerajaan di Tanah kaili. Tetapi sebagian besar daripada raja-raja tersebut melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, mereka bertempur dan tidak bersedia dijajah Belanda. Tetapi dengan kelicikan Belanda setelah mendapat bala bantuan dari Jawa akhirnya beberapa raja berhasil ditaklukan, bahkan ada diantaranya yang ditangkap dan ditawan oleh Belanda kemudian dibuang ke Pulau Jawa.
Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili diantaranya : Guma (sejenis parang), Pasatimpo (sejenis keris), Toko (tombak), Kanjai (tombak trisula), Kaliavo (perisai).

Tarian Sulawesi Tengah

Tari Torompio

“Torompio” adalah ungkapan dalam bahasa Pamona, Sulawesi Tengah. Ungkapan ini terdiri atas dua kata, yakni “toro” yang berarti “berputar” dan “pio” yang berarti “angin”. Jadi, “torompio” berarti “angin berputar”. Makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut adalah “gelora cinta kasih” yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian ini disebut torompio. Pengertian gelora cinta kasih sebenarnya bukan hanya untuk sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, melainkan juga untuk semua kehidupan, seperti: cinta tanah air, cinta sesama umat, cinta kepada tamu-tamu (menghargai tamu-tamu) dan lain sebagainya. Namun, yang lebih menonjol ialah cinta kasih antarsesama remaja atau muda-mudi, sehingga tarian ini lebih dikenal sebagai tarian muda-mudi. Torompio dalam penampilannya sangat ditentukan oleh syair lagu pengiring yang dinyanyikan oleh penari dan pengiring tari.

Tarian ini dahulu ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas dan dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu yang agak luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk lingkaran, karena tari ini didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris.

Pertunjukan tari torompio diawali dengan gerakan linggi doe atau panggilan buat para penari. Dalam linggi doe para penari akan masuk ke pentas dari dua arah. Penari pria dari arah kiri dan wanita dari kanan. Selanjutnya, mereka bertemu dalam satu barisan dan kemudian berpisah membentuk satu baris memanjang untuk melakukan gerakan penghormatan. Setelah itu, disusul dengan gerakan mantuju ada. Dalam gerakan ini penari membentuk bulatan besar kemudian bulatan kecil, dengan maksud menyampaikan pesan bahwa mereka anak-seberang akan mempertunjukkan tari torompio.

Setelah introduksi selesai, maka tarian dilanjutkan dengan gerakan masinpanca, yaitu para penari bertemu untuk mencari pasangan masing-masing sambil menyanyikan lagu yang menceritakan indahnya pertemuan tersebut. Kemudian, penari pria akan membuat gerakan-gerakan yang seakan merayu penari wanita. Gerakan ini disebut mencolodi. Dalam mencolodi ini lagu yang dibawakan syairnya menceritakan bahwa pertemuan antara penari pria dan wanita melambangkan persatuan di antara mereka.

Setelah gerakan moncoldi selesai, maka dilanjutkan dengan gerakan mompalakanamo dan mosangko lima. Pada gerakan mompalakanamo penari dalam posisi berhadapan sambil menyanyikan syair yang menceritakan pertemuan ini sangat indah, berkesan dan tak dapat dilupakan. Sedangkan, gerakan selanjutnya yaitu mosangko lima, penari pria menyematkan seuntai kalung kepada penari wanita dan diteruskan dengan berjabat tangan sebaga ungkapan eratnya persatuan. Kemudian, dilanjutkan dengan ucapan selamat tinggal yang ditandai dengan lambaian tangan. Pada masa Orde Baru, saat melambaikan tangan tersebut digunakan juga untuk menyampaikan pesan pemerintah kepada para penonton, yang berisi tentang ajakan untuk mensukseskan pembangunan di segala bidang

Tari DERO

Kesenian tradisional Modero, tarian yang dibawakan oleh golongan tua dan muda pada waktu pesta panen (vunja). Tarian ini ditarikan di tengah sawah, biasanya sampai pagi hari. Tujuan dari tarian ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas keberhasilan panen, sekaligus merupakan hiburan bagi para petani setelah bekerja keras.

Selanjutnya untuk Vaino, merupakan pembacaan syair-syair yang dibawakan secara bersahut-sahutan. Biasanya dilakukan pada waktu pesta kedukaan, yaitu di antara malam-malam dari hari ke- 3 sampai hari ke- 40 setelah kematian.

Sedangkan Dadendate, dapat dikategorikan sebagai seni suara, berupa nyanyian yang dilagukan semalam suntuk oleh seorang pria dan seorang wanita secara bergantian dengan iringan alat musik gambus. Syair yang dinyanyikan berisikan sindiran yang sifatnya membangun. Kesenian ini pada umunmya digemari oleh semua lapisan umur dalam masyarakat.

Untuk kesenian tradisional Kakula, yaitu sejenis kesenian yang menggunakan seperangkat alat musik, terdiri dari 15 buah kakula, 2 buah tambur, dan sebuah gong.
Untuk jenis tarian yang disuguhkan untuk menyambut tamu-tamu terhormat, yang diakhiri dengan menaburkan bunga kepada para tamu sering dinamai tarian . Lumense dan Peule Cinde
Mamosa, merupakan tarian perang yang dibawakan oleh seorang penari pria dengan membawa parang dan perisai kayu, yang ditarikan dengan gerakan melompat-lompat seperti menangkis serangan. Tarian ini diiringi alat musik gendang dan gong.

Sedanngkan Morego, sejenis tarian untuk menyambut kepulangan para pahlawan dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan. Sebelum tarian ini ditarikan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti meminta restu kepada pemangku adat, kemudian mencari wanita pasangan menari yang belum menikah.

Selanjutnya, Pajoge, merupakan tarian yang berasal dari lingkungan istana, dan biasanya ditarikan pada waktu ada pesta pelantikan raja. Tarian ini merupakan hasil pengaruh unsur kesenian dari kebudayaan yang berkembang di Sulawesi Selatan. Para penarinya terdiri dari tujuh penari wanita dan seorang penari pria.

Balia, merupakan sejenis tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda keramat, khususnya yang berhubungan dengan pengobatan tradisional terhadap seseorang yang terkena pengaruh roh jahat.

Kalau dilihat dari kesenian tari, wilayah Sulawesi tengah akan kaya dengan seni budayanya. Hanya saja, cara untuk melestarikan serta mempertahankan serta mempromosikannya perlu mendapat perhatian secara maksimal dari pemerintah daerah (rstmopm).

Tari Pamonte

Tari Pomonte adalah salah satu tari daerah yang telah merakyat di Provinsi Sulawesi Tengah, yang merupakan simbol dan refleksi gerak dari salah satu kebiasaan gadis-gadis suku Kaili pada zaman dahulu dalam menuai padi, yang mana mayoritas penduduk suku Kaili adalah hidup bertani. Tari Pomonte telah dikenal sejak tahun 1957 yang di ciptakan oleh seorang seniman besar, putra asli Sulawesi tengah yaitu (alm) Hasan. M. Bahasyuan, beliau terinspirasi dari masyarakat Sulawesi Tengah yang agraris. Tari Pomonte melambangkan sifat gotong-royong dan memiliki daya komunikasi yang tinggi, hidup dan berkembang ditengah masyarakat yang telah menyatu dengan budaya masyarakat itu sendiri. Kata POMONTE berasal dari bahasa Kaili Tara ; - PO artinya = Pelaksana - MONTE artinya = Tuai (menuai) - POMONTE artinya = Penuai Tari Pomonte menggambarkan suatu kebiasaan para gadis-gadis suku Kaili di Sulawesi Tengah yang sedang menuai padi pada waktu panen tiba dengan penuh suka cita, yang dimulai dari menuai padi sampai dengan upacara kesyukuran terhadap sang Pencipta atas keberhasilan panen. Dan sebelum menuai setiap pekerjaan didahului oleh seorang Penghulu yang dalam bahasa Kaili disebut TADULAKO. TADULAKO pada tarian ini berperan sebagai pengantar rekan-rekannya mulai dari menuai, membawa padi kerumah, membawa padi ke lesung, menumbuk padi, menapis serta membawa beras ke rumah yang kemudian disusul dengan upacara selamatan yakni No’rano, Vunja, Meaju dan No’raego mpae yang merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan pada upacara panen suku Kaili di provinsi Sulawesi Tengah. Tari Pomonte memiliki daya pikat yang kuat karena dalam penampilannya mampu menimbulkan suasana gembira terhadap penonton, baik dalam gerak maupun lagu yang dinyanyikan dalam berhasa daerah yaitu bahasa Kaili, sehingga tari Pomonte dapat dimengerti langsung oleh yang menyaksikannya khususnya masyarakat di lembah Palu.

Kesenian di Sulawesi Tengah

Kesenian di Sulawesi Tengah

Apa tanggapan anda apa bila ada orang yang bertanya ; Kesenian itu penting buat kehidupan manusia ??
Postkan Komentar Anda Tentang Kesenian Ini !!!

Berbagai macam kesenian yang sampai sekarang masih digemari masyarakat, dan diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu misalnya:

Modero; merupakan tarian yang dibawakan oleh golongan tua dan muda pada waktu pesta panen (vunja). Tarian ini ditarikan di tengah sawah, biasanya sampai pagi hari. Tujuan dari tarian ini merupakan ungkapan rasa terima kasih atas keberhasilan panen, sekaligus merupakan hiburan bagi para petani setelah bekerja keras.

Vaino, merupakan pembacaan syair-syair yang dibawakan secara bersahut-sahutan. Biasanya dilakukan pada waktu pesta kedukaan, yaitu di antara malam-malam dari hari ke- 3 sampai hari ke- 40 setelah kematian.

Dadendate, dapat dikategorikan sebagai seni suara, berupa nyanyian yang dilagukan semalam suntuk oleh seorang pria dan seorang wanita secara bergantian dengan iringan alat musik gambus. Syair yang dinyanyikan berisikan sindiran yang sifatnya membangun. Kesenian ini pada umunmya digemari oleh semua lapisan umur dalam masyarakat.

Kakula, yaitu sejenis kesenian yang menggunakan seperangkat alat musik, terdiri dari 15 buah kakula, 2 buah tambur, dan sebuah gong.

Lumense dan Peule Cinde, adalah jenis tarian untuk menyambut tamu-tamu terhormat, yang diakhiri dengan menaburkan bunga kepada para tamu tersebut.
Mamosa, merupakan tarian perang yang dibawakan oleh seorang penari pria dengan membawa parang dan perisai kayu, yang ditarikan dengan gerakan melompat-lompat seperti menangkis serangan. Tarian ini diiringi alat musik gendang dan gong.

Morego; sejenis tarian untuk menyambut kepulangan para pahlawan dari medan pertempuran dengan membawa kemenangan. Sebelum tarian ini ditarikan, harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti meminta restu kepada pemangku adat, kemudian mencari wanita pasangan menari yang belum menikah.

Pajoge, merupakan tarian yang berasal dari lingkungan istana, dan biasanya ditarikan pada waktu ada pesta pelantikan raja. Tarian ini merupakan hasil pengaruh unsur kesenian dari kebudayaan yang berkembang di Sulawesi Selatan. Para penarinya terdiri dari tujuh penari wanita dan seorang penari pria.

Balia, merupakan sejenis tarian yang berkaitan dengan kepercayaan animisme, yaitu pemujaan terhadap benda-benda keramat, khususnya yang berhubungan dengan pengobatan tradisional terhadap seseorang yang terkena pengaruh roh jahat.

Sumber: Perpustakaan Daerah Propinsi
Jl. Banteng No. 6 Palu Telp. (0451) 482490

PAKAIAN ADAT SULAWESI TENGAH

PAKAIAN ADAT SULAWESI TENGAH


PENDAHULUAN

A.  Latar belakang
Berdasarkan semboyan ‘ Bhinneka Tunggal Ika ‘ , maka bangsa Indonesia yang beraneka ragam budaya menyadari pentingnya persatuan bangsa, dengan arti bersatu tidak harus sama.
Bangsa Indonesia tidak ingin dan tidak akan menghilangkan perbedaan-perbedaan dikalangan bangsa Indonesia sendiri, tindakan menghilangkan perbedaan itu bertentangan dengan kodrat bangsa Indonesia, berusaha terus agar perbedaan tersebut mempersatukan bangsa kita dalam persamaan penuh, keserasian dan keselarasan.
Berangkat dari keaneka ragaman kita ciptakan persatuan dan kesatuan bangsa, keaneka ragaman budaya kita jadikan landasan pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, keaneka ragaman budaya kita kembangkan agar tumbuh subur dan dapat memperkaya maupun memberi warna warni indahnya budaya bangsa.
Salah satu kebudayaan yang harus di perhatikan yaitu busana daerah. Karena itulah bentuk perbedaan fisik pada kebudayaan bangsa kita ini. Di jawa ada kebaya, di Sulawesi ada baju bodo, di nias pakaian adat dinamakan Baru Oholu untuk pakaian laki-laki dan Õröba Si’öli untuk pakaian perempuan, dan banyak lagi perbedaan nama maupun bentuk pada busana daerah di Indonesia ini.
Khususnya di makalah ini yang akan saya bahas yaitu mengenai busana daerah dari Sulawesi Tengah.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah ciri spesifik dari busana daerah Sulawesi Tengah?
2.      Kain apakah yang di gunakan penduduk Sulawei tengah?
3.      Bagaimana perbedaan busana yang di kenakan sehari- hari dan busana saat upacara adat?
4.      bagaimana busana daerah yang di pakai untuk penduduk pria?


C.   Tujuan
1.      Mengetahui cirri khas dari busana daerah Sulawesi Tengah
2.      Mengetahuai kain yang khas di gunakan penduduk Sulawesi Tengah
3.      Mengetahui perbedaan busana yang di kenakan sehari- hari dan busana saat upacara adat
4.      Mengetahui busana daerah Sulawesi Tengah yang dipakai untuk kaum pria.




PEMBAHASAN

A. JENIS BUSANA DAERAH
I. Pakaian Adat Etnis Kaili Kota Palu
  1. Pakaian Adat Perempuan
    1. Baju Nggembe
      Baju Nggembe adalah busana yang dipakai oleh remaja putri untuk Upacara Adat atau pesta. Baju Nggembe berbentuk segi empat, berkerah bulat berlengan selebar kain, panjang blus sampai pinggang dan berbentuk longgar.
Baju Nggembe ini dilengkapi dengan penutup dada atau sampo dada dan memakai payet sebagai pemanis busana. Bagian bawah Baju Nggembe adalah sarung tenun Donggala yang berbenang emas atau dalam bahasa Kaili disebut dengan Buya Sabe Kumbaja.
    1. Cara Pemakaian Sarung. Mulanya hanya di kepit di pinggang dan ujung sarung terjuntai di pangkal tangan Ni Sakiki. Dalam perkembangannya pemakaian sarung Donggala dirubah dengan mengikat sarung dan kemudian disamping kiri atau kanan dilipat untuk memperindah serta memberi kebebasan bergerak bagi si pemakai.
    2. Assesoris
      - Anting-anting panjang atau Dali Taroe
      - Kalung beruntai atau Gemo
      - Gelang panjang atau Ponto Ndate
      - Pending atau Pende
Pende atau pending adalah ikat pinggang yang digunakan pada saat seseorang (perempuan) memainkan tarian khas Sulawesi Tengah. Ikat pinggang ini dahulu umumnya dibuat dari bahan emas atau perak dengan cara dicetak. Pada bagian dalam pende dibuat sebuah tempat untuk memasukkan tali pengikat kain yang berwarna kuning dan diberi hiasan. Saat ini, pende yang digunakan untuk menari bukan lagi dibuat dari emas atau perak melainkan ikat pinggang biasa yang diubah sedemikian rupa hingga menyerupai pende asli.

  1. Pakaian Adat Laki-laki
Baju Koje / Puruka Pajana
Pakaian ini terdiri dari 2 bagian yaitu Baju Koje dan Puruka Pajama. Baju Koje atau baju ceki adalah kemeja yang bagian keragnya tegak dan pas dileher, berlengan panjang, panjang kemeja sampai ke pinggul dan dipakai di atas celana.
Puruka Pajana atau celana sebatas lutut, modelnya ketat, namun killnya harus lebar agar mudah untuk duduk dan berjalan. Pakaian ini dilengkapi dengan sarung dipinggang, keris, serta sebagian kepala menggunakan destar atau siga.


II. Pakaian Adat Etnis Mori di Kab. Morowali
  1. Pakaian Adat Perempuan
    Blus lengan panjang atau bahasa Mori disebut dengan Lambu, berwarna merah dengan hiasan dan motif rantai berwama kuning. Rok panjang berwama merah atau hawu juga bermotif rantai berwama kuning. Pada bagian kepala, menggunakan mahkota atau pasapu.
Assesoris yang digunakan:
- Konde atau Pewutu Busoki
- Tusuk Konde atau Lansonggilo
- Anting-anting atau Tole-tole
- Kalung atau Enu-enu
- Gelang Tangan atau Mala
- Ban Pinggang atau Pebo’o
- Cincin atau Sinsi
  1. Pakaian Adat Laki-laki
    Kemeja lengan panjang atau bahasa Mori dengan sebutan Lambu, berwama merah dengan hiasan motif rantai berwama kuning. Celana panjang berwama merah atau Saluara. Pada bagian kepala menggunakan destar atau Bate. Perlengkapan pakaian pria berupa ban pinggang atau sulepe.


III. Pakaian Adat Etnis Toli-toli di Kab. Toli-Toli
Pakaian Adat Perempuan
  • Blus lengan pendek atau Badu yang pada bagian lengan terdapat lipatan-lipatan kecil, dihiasi manik-manik dan pita emas
  • Celana panjang atau Puyuka panjang dihiasi pita emas dan manik-manik
  • Sarung sebatas lutut atau Lipa
  • Selendang atau Silempang
  • Ban pinggang berwarna kuning
Assesoris yang digunakan:
  • Anting-anting panjang
  • Gelang panjang
  • Kalung panjang warna kuning
  • Kembang goyang

Pakaian Adat Laki-laki
  • Blus lengan panjang, leher tegak, dihiasi dengan pita emas dan manik-manik wama kuning
  • Celana panjang atau Puyuka panjang
  • Sarung sebatas lutut
  • Tutup kepala atau Songgo

IV. Pakaian Adat Etnis Saluan di Kab. Luwuk
  1. Pakaian Adat Perempuan
    • Blus atau pakaian wanita yang disebut dalarn bahasa Saluan adalah Pakean Nu’boune.
    • Rok panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Rok Mahantan
    • Perhiasan berbentuk bintang
Assesoris yang digunakan:
- Gelang atau Potto
- Kalung atau Kalong
- Sunting, anting atau Sunting, Jaling
- Selempang atau Salandoeng
Pakaian Adat Laki-laki
  • Kemeja pria yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Pakean Nu’moane
  • Celana panjang yang disebut dalam bahasa Saluan adalah Koja
  • Penutup kepala/topi (Sungkup Nu’ubak)
  • Sarung pelengkap celana panjang (Lipa).
  •  Warna ciri khas : Kuning melambangkan Kayu Ulin.
  •  Pakaian dari kulit kayu Ivo
  •  Pakaian Adat
  •  Pakaian Pengantin



Bahan yang di gunakan untuk busana
Pakaian sehari-hari
Bahan-bahannya terdiri dari kulit kayu Nuru (pohon beringin), cara pembuatan kainnya dari kulit kayu yang bahannya dari kulit kayu Nunu. Cara pembuatannya adalah sebagai berikut:
Ø  Menguliti kayu Nunu sebagai sumber bahan.
Ø   Merebus kulit kayu tersebut sampai masak lalu di bungkus selama tiga hari.
Ø   Di cuci dengan air untuk membersihkan getahnya dan biasanya menggunakan pula abu dapur.
Ø  Kulit kayu tersebut di pukul dengan alat yang di sebut pola (bahannya dari batang enau) sampai mengembang dan melebar. Kemudian dipukul dengan alat yang bernama tinahi yang di buat dari batu yang agak kasar. Disini dapat disambung bahan yang satu dengan bahan yang lainnya agar menjadi lebar dan panjang, di susul dengan alat ike yang halus sampai bahan tersebut sudah menjadi sehelai kain yang panjangnya tiga sampai lima meter.
Ø   Setelah menjadi kain kemudian di gantung untuk di anginkan (nillave)
Ø   Sesudah kering dilipat untuk diratakan dengan pola tidak bergigi (niparondo) yaitu semacam setrika.
Pakaian upacara
Kalau pakaian sehari-hari terbuat dari kulit kayu Nunu (pohon beringin), maka khusus untuk pakaian upacara bahannya juga dibuat dari kulit kayu, tetapi kulit kayu dari kayu Ivo yang dapat menghasilkan kain kulit kayu yang lebih halus dan bermutu, dan lebih baik daripada yang terbuat dari kulit kayu Nunu. Kulit kayu Ivo setelah selesai pengolahannya menjadi kainyang warna dasarnya adalah putih. Cara pembuatanya sama dengan cara pembuatan kain kulit pohon Nunu.

 
B. BENTUK DASAR BUSANA
Berdasarkan cirri-ciri yang terdapat pada bentuk-bentuk dasar busana ,busana daerah Indonesia dapat di kelompokkan sebagai berikut:
1.      Kelompok celemek panggul
2.      Kelompok tunika(kelompok baju kurung)
3.      Kelompok kaftan(kelompok kebaya)
4.      Kelompok draperi

Busana adat Sulawesi Tengah yaitu baju ngggembe, lambu, badu dan blus yang di sebut nu’boune (untuk pakaian wanita) berdasarkan bentuknya tergolong dalam pengembagan kelompok tunika (kelompok baju kurung).
Bentuknya segiempat berupa kantung terbalik denagn lubang leher memanjang dari lipatan kebawah bagian muka. Dan bagian busana bawah menggunakan busana dengan bentuk dasar celemek panggul berupa sarung.
Sedangkan untuk busana pria memiliki bentuk dasar busana kaftan karena memiliki belahan di depan sampai bawah. Dan denab bawahan berupa celana.
Oleh karena itulah sekelumit dari harta bangsa kita yang harus kita lestarikan.


PENUTUP

Jenis busana daerah Indonesia beribu-ribu jumlahnya. Namun itulah yang menunjukan bahwa negeri kita ini memiliki banyak budaya
Dalam makalah ini telah di sebutkan berbagai macamjenis busana daerah di propinsi Sulawesi Tengah yang memiliki bentuk dasar busana tunika karena memiliki bentuk dasar seperti kantung terbalik.dengan bawahan celemek panggul berupa sarung. Sedangkan untuk busana pria memiliki bentuk dasar busana kaftan karena memiliki belahan di depan sampai bawah. Dan denab bawahan berupa celana.
Oleh karena itulah sekelumit dari harta bangsa kita yang harus kita lestarikan.

sumber:
Budparpora.wordpress.com
Id.wikipedia.org/wiki/sulawesi-Tengah
Bgo studio.wordpress.com/pakaian adat di Sulawesi Tengah