Kerajaan Banawa adalah salah satu kerajaan Melayu yang terdapat di Sulawesi
Tengah. Kerajaan ini sering disebut Kerajaan Donggala Banawa karena lahir di
wilayah Donggala. Kerajaan yang berdiri pada medio abad ke-15 Masehi ini
terlahir berkat andil tokoh legendaris yang berpetualang dari tanah Bugis,
yaitu Sawerigading. Sejak pertama kali didirikan, kerajaan ini mampu
mempertahankan eksistensinya hingga era pascakemerdekaan Republik Indonesia.
Saat ini, Banawa menjadi wilayah kecamatan yang merupakan ibukota dari
Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah.
1. Sejarah
Penduduk Donggala
adalah percampuran dari berbagai ras dan suku bangsa, hasil persilangan ras
Wedoid dan Negroid yang berkembang menjadi suku bangsa baru menyusul datangnya
orang-orang Proto-Melayu pada tahun 3000 SM. Aroma Melayu semakin kental ketika
pada era 300 SM kaum perantau yang berasal dari ras Deutro-Melayu juga
menyambangi Donggala dan tempat-tempat di Sulawesi Tengah
lainnya (www.sejarahbangsaindonesia.co.cc). Mayoritas penduduk Kerajaan Banawa
adalah orang-orang dari Suku Kaili.
a. Cikal-Bakal Berdirinya Kerajaan Banawa
Pendahulu Kerajaan Banawa adalah suatu perabadan monarki milik Suku Kaili
yang bernama Kerajaan Pudjananti atau yang sering juga disebut sebagai Kerajaan
Banawa Lama. Kerajaan ini diperkirakan masih eksis pada abad ke-11 hingga 13 M,
sezaman dengan Kerajaan Singasari yang dilanjutkan oleh Majapahit.
Diperkirakan, Kerajaan Pudjananti mengalami masa kejayaan antara kurun tahun
1220 sampai 1485 M. Kerajaan Pudjananti menjadi salah satu dari tiga kerajaan
tua yang terdapat di Sulawesi Tengah, yaitu Kerajaan Banggai
(Benggawi) dan Sigi (Jamrin Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Versi legenda, diceritakan bahwa raja yang paling terkenal dalam riwayat
Kerajaan Pudjananti bernama Raja Lian. Sang penguasa dikisahkan menikahi
seorang wanita dipercaya datang dari alam gaib. Perkawinan ini membuahkan
seorang anak perempuan bernama Gonenggati yang memberi
Raja Lian tujuh orang cucu, masing-masing enam cucu laki-laki dan satu cucu
perempuan. Keenam cucu laki-laki tersebut kemudian menyebar ke daerah-daerah
lain, menikah dengan wanita setempat, dan menjadi penguasa di daerah-daerah
baru tersebut (http://infokom-sulteng.go.id).
Sesuai namanya, pusat pemerintahan Kerajaan Pudjananti diduga kuat
berlokasi di daerah yang bernama Pudjananti atau Ganti. Jarak Pudjananti tidak
begitu jauh dari Donggala, yang kelak menjadi ibukota Kerajaan Banawa, hanya
sekitar 2 kilometer. Pudjananti merupakan kawasan tua yang sudah lama
berpenghuni (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Donggala sudah kesohor sebagai salah satu kota perdagangan yang ramai.
Bahkan, Donggala merupakan kota pelabuhan tertua di Sulawesi Tengah (Agustan T.
Syam, dalam http://portal.cbn.net.id). Kota pelabuhan ini oleh orang Eropa
disebut dengan nama Banava, yang boleh jadi merupakan akar dari kata
Banawa (Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Ketenaran bandar niaga Donggala sempat disebutkan dalam lembaran naskah
catatan perjalanan yang ditulis oleh pengelana dari negeri Cina. Seorang
pedagang Eropa, bernama Antonio de Paiva, pada kurun tahun 1542-1543 bertolak
ke Donggala dengan maksud untuk mencari kayu cendana. Pada saat itu, wilayah
Banawa memang banyak ditumbuhi pohon cendana. Hal tersebut dikuatkan dengan
hasil riset yang dilakukan oleh Dr. Boorsman di mana ia menemukan batang-batang
pohon cendana di pegunungan di sekitar Palu dan Donggala (Abubakar, dalam
http://catatanjamrin.blogspot.com).
Penamaan Banawa sebagai kerajaan dimungkinkan juga terkait erat dengan nama
kapal yang ditumpangi Sawerigading
untuk mengarungi samudera, termasuk mengunjungi Ganti dan Donggala.
Sawerigading adalah seorang pangeran dari Kerajaan Luwu Purba, putera dari Sang
Raja Batara Lattu. Nama Sawerigading dikenal melalui cerita dan kisah dari epik
sastra Bugis yang legendaris, yakni La Galigo (http://id.wikipedia.org).
Di suatu tempat yang tidak jauh dari Ganti dan Donggala, kapal yang
ditumpangi rombongan Sawerigading terpaksa berlabuh karena mengalami sedikit
kerusakan. Menurut kepercayaan masyarakat lokal di sana, tempat di mana
Sawerigading menyangga bahteranya itu lantas dikenal dengan nama Langgalopi
yang dalam bahasa Bugis-Donggala berarti “galangan perahu” (Abubakar, dalam
http://catatanjamrin.blogspot.com).
Langgalopi termasuk wilayah kekuasaan milik Kerajaan Pudjananti.
Sawerigading kemudian memutuskan untuk mengunjungi kerajaan itu. Bukti bahwa
rombongan Sawerigading pernah melalukan pelayaran sampai ke wilayah kekuasaan
Kerajaan Pudjananti termaktub dalam Kitab Bahasa Bugis. Dalam kitab itu
disebutkan bahwa salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananti
(Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Sawerigading sempat berkunjung ke Kerajaan Sigi di Teluk Kaili dan
bermaksud menyunting Ratu Ngilinayo, pemimpin Kerajaan Sigi, untuk dijadikan
istrinya. Akan tetapi, pernikahan itu tidak pernah terjadi karena terjadi gempa
bumi pada saat pembicaraan pinang-meminang dilangsungkan sehingga rencana
tersebut menjadi kacau-balau. Akibat bencana itulah, seperti yang diyakini
dalam legenda, perairan Teluk Palu menjadi kering. Orang-orang yang semula
berdomisili di pegunungan pun mulai turun dan mendirikan permukiman baru di
lembah bekas laut itu serta beranak-pinak hingga sekarang (Abubakar, dalam
http://catatanjamrin.blogspot.com).
Singkat cerita, dari hasil kunjungan ke Kerajaan Pudjananti itu muncul
gagasan untuk menikahkan anak lelaki Sawerigading, yakni La Galigo, dengan
puteri Kerajaan Pudjananti yang bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri
Pudjananti. Dari perkawinan itu, La Galigo dikarunai dua orang anak,
masing-masing laki-laki dan perempuan. Cucu laki-laki Sawerigading diberi nama
Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro, yang artinya “pergi menantang,
menang, dan akhirnya semua menyembah kepadanya”. Sedangkan anak yang perempuan
diberi nama Wettoi Tungki Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti, yang
bermakna “bintang tunggal yang diikuti semua orang” (Iin Ainar Lawide, dalam
http://iinainarlawide.blogspot.com).
Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro dinikahkan dengan I Badan Tassa
Batari Bana, puteri dari kakak Raja Bone. Setelah pernikahan itu, Sawerigading
dan La Galigo mulai menggagas pendirian pemerintahan baru sebagai pengganti
Kerajaan Pudjananti. Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah
bangsawan murni kepada kedua mempelai menghadiahkan seluruh wilayah Kerajaan
Pudjananti. Sejak saat itu, sebuah pemerintahan hasil afiliasi Bugis dan Kaili
dengan nama baru, yaitu Kerajaan Banawa (Abubakar, dalam
http://catatanjamrin.blogspot.com).
b. Masa Awal dan Eksistensi Kerajaan Banawa
Kerajaan Banawa resmi berdiri di bawah kepemimpinan seorang ratu, yakni I
Badan Tassa Batari Bana yang bertahta sejak tahun 1485 hingga 1552 M (Abubakar,
dalam http://catatanjamrin.blogspot.com). Penerus kepemimpinan I Badan Tassa
Batari Bana juga seorang perempuan, bernama I Tassa Banawa. Ratu ke-2 Kerajaan
Banawa ini memerintah sejak tahun 1552 sampai dengan 1650 M. Pada masa
pemerintahan I Tassa Banawa, wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa semakin
bertambah luas. Selain itu, kabinet I Tassa Banawa juga berhasil merumuskan
tata cara atau sistem pemerintahan dan membentuk Dewan Adat Pittunggota
atau semacam lembaga legislatif kerajaan (http://infokom-sulteng.go.id).
Masa pemerintahan I Tassa Banawa berakhir pada tahun 1650 M. Penerus I
Tassa Banawa adalah cucu perempuannya, yaitu Puteri Intoraya. Ratu ke-3
Kerajaan Banawa ini menikah dengan dengan seorang lelaki bernama La Masanreseng
Arung dari Cendana Mandar. Pernikahan pasangan ini dikaruniai empat orang anak,
masing-masing dua laki-laki dan dua perempuan, yang diberi nama La Bugia, La
Lotako, Puteri Nanggiwa, dan Puteri Nanggiana (Lawide, dalam
http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pada era kepemimpinan Ratu Intoraya, pengaruh Islam mulai masuk ke wilayah
Donggala. Penyebaran dan perkembangan ajaran Islam di lingkungan Kerajaan
Banawa, dan juga di seluruh wilayah Sulawesi Tengah, pada medio abad ke-16 M
itu dipelopori oleh kerajaan-kerajaan dari Sulawesi Selatan yang sudah terlebih
dulu memeluk Islam. Pelopor syiar Islam di kawasan Sulawesi Tengah adalah
orang-orang dari Kerajaan Bone dan Wajo (www.sejarahbangsaindonesia.co.cc).
Sejalan dengan itu, Ratu Intoraya pun menjadi penguasa Kerajaan Banawa
pertama yang memeluk Islam. Tindakan yang dilakukan oleh Ratu Intoraya dan
segenap keluarga Kerajaan Banawa itu membuat sebagian besar rakyat juga turut
berbondong-bondong masuk Islam.
Tidak cuma masuknya ajaran Islam saja yang mewarnai dinamika kehidupan
Kerajaan Banawa pada masa pemerintahan Ratu Intoraya, melainkan juga pengaruh
bangsa-bangsa asing yang datang dari Eropa. Portugis adalah wakil dari kaum
Barat pertama yang memasuki wilayah ini, kemudian disusul oleh Spanyol dan
Belanda lewat kongsi niaganya yakni Vereniging Oost-indische Compagine
(VOC). Namun dalam perkembangan selanjutnya, peta kekuatan di kawasan tersebut
berada dalam dominasi pengaruh kompeni Belanda.
Memasuki tahun ke-19 pemerintahan Ratu Intoraya, VOC sudah menjalin mitra
niaga dengan sejumlah kerajaan di kawasan Sulawesi Tengah, termasuk dengan
Kerajaan Banawa, dan kerajaan-kerajaan Suku Kaili lainnya seperti Kerajaan
Tawaeli, Palu, Loli, dan Sigi. VOC mengadakan kontrak penambangan emas dengan
masing-masing penguasa kerajaan tersebut (http://infokom-sulteng.go.id).
Belanda menawarkan kepada raja-raja lokal yang bersemayam di wilayah itu
untuk pemberian bantuan dalam bidang penanggulangan keamanan. Peluang Belanda
terbuka kian lebar karena pada waktu itu wilayah Kerajaan Banawa dan
kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Tengah sedang rawan kejahatan yang dilakukan
oleh gerombolan perompak dari wilayah Mindanao, Filipina, itu seringkali
menganggu kawasan perairan di Selat Makassar
(www.sejarahbangsaindonesia.co.cc).
Kaum kompeni kian mendapat angin dengan diizinkannya membangun benteng atau
loji. Pemerintahan Ratu Intoraya sebagai orang nomor satu di Kerajaan Banawa
berakhir pada tahun 1698 M. Putra sulung Ratu Inoraya, yakni La Bugia, naik ke
puncak kekuasaan tertinggi kerajaan. Dengan demikian, La Bugia adalah laki-laki
pertama yang menempati singgasana Kerajaan Banawa di mana tiga penguasa
sebelumnya adalah perempuan. Setelah ditabalkan sebagai raja, La Bugia menyandang
gelar kehormatan sebagai La Bugia Pue Uva (Lawide, dalam
http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pada era kepemimpinan Raja La Bugia Pue Uva, kemakmuran warga masyarakat
Kerajaan Banawa semakin maju. Bandar niaga Donggala semakin mendapat perhatian
dari berbagai kalangan sebagai salah satu sentra jaringan perniagaan di
nusantara. Bahkan, saking kondangnya citra Donggala, pada masa pemerintahan
Raja La Bugia Pue Uva ini datang gangguan dari bangsa Portugis yang berambisi
untuk merebut pelabuhan dagang Donggala sehingga terjadi pertempuran melawan
pihak Kerajaan Banawa. Dalam peperangan laut ini, Raja La Bugia Pue Uva
berhasil mempertahankan Donggala dari ancaman Portugis (Abubakar, dalam
http://catatanjamrin.blogspot.com).
Periode pemerintahan Raja La Bugia Pue Uva usai pada tahun 1758 M. Sebagai
anak pertama, Puteri I Sabida adalah orang yang paling berhak untuk meneruskan
tahta ayahandanya. Dengan demikian, Kerajaan Banawa kembali dipimpin oleh
seorang perempuan. Ratu I Sabida mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi
seorang pejabat kerajaan yang bernama Madika Matua Banawa. Pernikahan ini
membuahkan tiga orang putera dan seorang puteri, masing-masing bernama La
Bunia, Kalaya, Lauju, dan Puteri I Sandudongie.
Sosok Ratu I Sabida digambarkan sebagai tokoh wanita yang pemberani dan
sakti mandraguna. Ia memimpin dengan penuh wibawa, tegas, disegani oleh kawan
maupun lawan, dan berhasil membawa Kerajaan Banawa menjadi peradaban yang
sejahtera. Selain itu, Ratu I Sabida juga membuka ruang interaksi dengan kaum pedagang
asing yang singgah di pelabuhan Donggala dan yang menetap untuk sementara di
wilayah Kerajaan Banawa. Pada masa ini, mulai diperkenalkan cara merajut tenun
sutra, yang kini dikenal sebagai kain tenun
Donggala, oleh para saudagar dari Gujarat (Abubakar, dalam
http://catatanjamrin.blogspot.com).
Dalam urusan pewarisan tahta, Ratu I Sabida tampaknya cenderung memilih
Puteri I Sandudongie sebagai calon penerusnya kendati ketiga anaknya yang lain
adalah laki-laki, termasuk anak yang paling sulung. Setelah Ratu I Sabida
meninggal dunia, puteri bungsunya itulah yang diangkat sebagai pelanjut tahta
Kerajaan Banawa. I Sandudongie naik jabatan sebagai ratu pada tahun 1800. Raja
perempuan terakhir dalam sejarah Kerajaan Banawa ini menikah dengan Magau Lando
Dolo dan memperoleh seorang anak laki-laki yang diberi nama La Sa Banawa
(Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pada masa kuasa Ratu Kerajaan Banawa yang ke-6 ini, Belanda juga berhasil
memaksa Ratu I Sandudongie untuk menandatangani sejumlah kesepakatan yang tentu
saja merugikan pihak Kerajaan Banawa. Kontrak perjanjian yang disodorkan oleh
Belanda kepada Ratu I Sandudongie pada tahun 1824, misalnya, memuat isi yang
pada intinya semakin menguatkan dominasi Belanda dalam monopoli perdagangan di
Donggala. Salah satu keuntungan istimewa yang diperoleh Belanda dengan kontrak
tersebut adalah bahwa Belanda diperbolehkan mendirikan Kantor Bea dan Cukai (Doane),
beserta macam-macam fasilitas, dengan dalih memperlancar kegiatan ekonominya
(Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com).
Setelah menjadi ratu selama 45 tahun, Ratu I Sandudongie wafat pada tahun
1845. Putera semata wayangnya, La Sa Banawa, ditetapkan selaku pemimpin
Kerajaan Banawa yang berikutnya. Setelah ditahbiskan menjadi raja, La Sa Banawa
memperoleh nama kehormatan La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera dan menyandang
gelar adat Mpue Mputi. Penguasa ke-7 Kerajaan Banawa ini mengawini I
Palusia dan dikaruniai dua orang anak laki-laki yang diberi nama I Tolare dan
La Marauna (Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Di era kepemimpinan Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera, meski masih
berada di bawah bayang-bayang pengaruh Belanda, populeritas Donggala kian
menjulang. Donggala tidak hanya sebagai kota pelabuhan saja, tetapi juga
sebagai kota pelajar, kota perdagangan, kota pemerintahan, kota perjuangan, dan
kota budaya yang sering menjadi rujukan dan didatangi oleh orang-orang dari
berbagai belahan dunia. Josep Condrad, pengelana sekaligus penulis
berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah
satu tempat penjelajahan yang dilakoninya. Selama masa kunjungan ke Kerajaan
Banawa sejak tahun 1858, Condrad menjalin persahabatan yang erat dengan Raja La
Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera (Abubakar, dalam
http://catatanjamrin.blogspot.com).
Kepala pemerintahan Kerajaan Banawa yang berikutnya adalah La Makagili yang
tidak lain adalah cucu dari Raja La Sa Banawa I Sanggalea Dg Paloera. Penguasa
Kerajaan Banawa yang ke-8 ini menduduki puncak singgasana sejak tahun
1888 dengan gelar La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu dan dikenal sebagai
sosok pemimpin yang paling berani dan gigih melawan penjajah
Belanda.
Tepat pada tanggal 23 Juli 1893, pusat pemerintahan Kerajaan Banawa yang
selama ini berlokasi di Pudjananti alias Ganti dipindahkan ke Donggala.
Penetapan Donggala sebagai ibukota Kerajaan Banawa ini bertahan hingga Kerajaan
Banawa bersatu di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sementara
itu, tahta Raja La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu berakhir pada permulaan abad
ke-20, tepatnya pada tahun 1902 (Lawide, dalam
http://iinainarlawide.blogspot.com)
c. Kerajaan Banawa pada Era Kemerdekaan RI
Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin kuat
menancapkan pengaruhnya terhadap kerajaan-kerajaan yang terdapat di Sulawesi
Tengah, tidak terkecuali Kerajaan Banawa. Kerajaan-kerajaan lokal tersebut
telah diikat oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dengan berbagai macam
kontrak politik dan ekonomi (http://infokom-sulteng.go.id). Pada periode tahun
1902 hingga 1926, pemimpin Kerajaan Banawa adalah La Marauna dengan gelar La
Marauna Pue Totua dan mendapat julukan kehormatan sebagai Mpue Totua
(Lawide, dalam http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pengemban estafet kepemimpinan Kerajaan Banawa yang ke-10 ialah Raja La
Gaga Pue Tanamea yang bertahta sejak tahun 1926 sampai dengan tahun 1932. Raja
La Gaga Pue Tanamea adalah anak dari kakak kandung Raja La Marauna Pue Totua
yang telah menjabat sebelumnya. Setelah Raja La Marauna Pue Totua mangkat, yang
diangkat sebagai penggantinya adalah putera keempat almarhum raja, bernama La
Ruhana Lamarauna. Pada masa pemerintahan Raja Banawa ke-11 ini, terjadi
pertempuran sengit antara Belanda dengan Jepang yang mendarat di wilayah
Sulawesi Tengah pada tanggal 15 Mei 1942. Akhirnya, Jepang berhasil
mengambil-alih penguasaan wilayah Kerajaan Banawa
(www.sejarahbangsaindonesia.co.cc).
Raja La Ruhana Lamarauna harus menjalankan pemerintahannya dengan waspada
dan berhati-hati selama era penjajahan Jepang. Pada masa ini, Kerajaan Banawa
nyaris tidak memiliki kewenangan dan kekuasaan secara politik lagi dan hanya
sekadar menjalani kehidupan sembari menunggu terjadinya perubahan. Harapan itu
terwujud ketika pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Raja La Ruhana Lamarauna pun leluasa dapat menjalankan roda
pemerintahan Kerajaan Banawa hingga tutup usia pada tahun 1947 (Lawide, dalam
http://iinainarlawide.blogspot.com).
Pemangku tahta Kerajaan Banawa yang selanjutnya adalah putera bungsu Raja
La Ruhana Lamarauna, bernama La Parenrengi Lamarauna. Selain sebagai pemangku
tahta, Raja Banawa ke-12 ini juga berkecimpung di ranah perpolitikan nasional
dengan merangkap jabatan sebagai Ketua Partai Nasional Indonesia (PNI) yang
pertama di Sulawesi Tengah. Suami dari Hajja Sania Tombolotutu ini merupakan
raja terakhir Kerajaan Banawa dan memungkasi riwayat hidupnya pada tahun 1986.
Raja La Ruhana Lamarauna menghembuskan nafas terakhirnya di Palu (Lawide, dalam
http://iinainarlawide.blogspot.com).
Raja La Parenrengi Lamarauna disebut sebagai raja terakhir Kerajaan Banawa
karena sejak tanggal 12 Agustus 1952, Donggala ditetapkan sebagai salah satu
dari dua kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah, selain Kabupaten Poso (Edi
Wicaksono, dalam http://ediwicak.blogspot.com). Status daerah Banawa pun
dialihkan menjadi kecamatan dan ditetapkan sebagai ibukota Kabupaten Donggala.
Sejak saat itu, kehidupan Banawa selaku pemerintahan kerajaan dinyatakan usai.
2. Silsilah
·
I Badan Tassa Batari Bana
(1485-1552 M).
·
I Tassa Banawa (1552-1650 M).
·
I Toraya (1650-1698M).
·
La Bugia Pue Uva (1698-1758 M).
·
I Sabida (1758-1800).
·
I Sandudongie (1800-1845).
·
La Sa Banawa I Sanggalea Dg
Paloera (1845-1888).
·
La Makagili Tomai Doda Pue Nggeu
(1888-1902).
·
La Marauna Pue Totua (1902-1926).
·
La Gaga Pue Tanamea (1926-1932).
·
La Ruhana Lamarauna (1932-1947).
·
La Parenrengi Lamarauna
(1947-1959)
(Abubakar, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com;
Lawide, http://iinainarlawide.blogspot.com).
3. Sistem Pemerintahan
Kerajaan Banawa mengadopsi sistem pemerintahan yang telah diberlakukan
dalam tata cara pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Kemiripan
pola pengaturan kehidupan di Kerajaan Banawa dengan kerajaan-kerajaan di
Sulawesi Selatan tersebut terlihat dari bentuk bangunan dan pemakaian gelar
kehormatan untuk bangsawan.
Bangunan adat khas Kerajaan Banawa dikenal dengan sebutan baruga
yang merupakan lambang kewibawaan dan kekuasaan kerajaan (Marahalim Siagian,
dalam www.masagala.co.cc). Sedangkan gelar-gelar kehormatan kerajaan yang
dianugerahkan kepada para bangsawan di Kerajaan Banawa juga nyaris persis
dengan gelar bangsawan di Sulawesi Selatan, sebut saja pemakaian gelar yang
berawalan La, Daeng, Andi, dan sebagainya.
Di samping itu, format dan struktur pemerintahan yang dijalankan di
Kerajaan Banawa juga memakai gaya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan yakni
dengan menganut sistem Pitunggota. Pitunggota adalah suatu
susunan pemerintahan kerajaan dan lembaga legislatif yang dipimpin oleh seorang
Baligau. Keanggotaan Pitunggota terdiri dari tujuh pejabat tinggi
kerajaan, termasuk menteri dan pejabat daerah, yaitu antara lain Madika
Malolo, Madika Matua, Ponggawa, Tadulako, Galara, Pabicara, dan Sabandara
(http://linosidiru.blog.friendster.com).
Madika Malolo adalah sebutan untuk raja muda sebagai wakil dari
Raja Banawa dalam mengurusi persoalan-persoalan tertentu. Pengangkatan Madika
Malolo dilakukan langsung secara adat oleh raja dan harus mendapat restu
dari dewan kerajaan. Madika Matua merupakan jabatan perdana menteri yang
merangkap sebagai pejabat urusan luar negeri dan ekonomi. Seorang Madika
Matua diangkat dan diberhentikan oleh raja atas persetujuan Baligau.
Anggota Pitunggota lainnya yakni Ponggawa atau menteri dalam
negeri, Tadulako atau menteri pertahanan dan keamanan, Galara
atau menteri kehakiman, Pabicara atau menteri penerangan, dan Sabandara
alias menteri perhubungan kelautan (http://infokom-sulteng.go.id).
Tata cara pemerintahan di Kerajaan Banawa juga terdapat dua lembaga tinggi,
yakni Libu Nu Maradika (semacam Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Libu
Nto Deya (semacam Dewan Permusyawaratan Rakyat). Tugas Libu Nu Maradika
adalah mengesahkan penobatan raja terpilih. Sedangkan Libu Nto Deya ialah
dewan yang mewakili tujuh penjuru wilayah atau Kota Pitunggota. Bentuk Kota
Pitunggota ditetapkan berdasarkan luas wilayah kerajaan yang memiliki
perwakilan Soki (kampung). Selain itu, dalam tradisi Kerajaan Banawa
dikenal tingkat penggolongan strata sosial masyarakat, antara lain yaitu Madika/Maradika
(kaum raja dan bangsawan), Totua Nungata (keturunan tokoh-tokoh
masyarakat), To Dea (rakyat biasa), dan Batua yang merupakan
kasta hamba atau budak (http://id.wikipedia.org).
4. Wilayah Kekuasaan
Sejak era pemerintahan Raja La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888)
hingga Raja La Ruhana Lamarauna (1932-1947), Kerajaan Banawa memiliki luas
wilayah sekitar 460.000 hektare yang terbagi atas tiga daerah. Pertama adalah
kawasan Banawa Selatan yang memiliki area wilayah dari Loli Watusampu sampai
Surumana yang berbatasan dengan daerah Mamuju. Berikutnya adalah kawasan Banawa
Tengah yang membentang dari Pantoloan sampai Sindue. Bagian ketiga adalah
kawasan Banawa Utara dengan cakupan daerah yang terhampar dari Balaesang hingga
Dampelas Sojol, termasuk Pulau Pasoso dan Pangalasing (Lawide,
http://iinainarlawide.blogspot.com).
Daerah-daerah yang dahulu termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Banawa
pada masa sekarang menjadi desa-desa yang bernaung di wilayah administratif
Kecamatan Banawa. Daerah-daerah itu meliputi Ganti, Bambarimi, Boneoge, Boya,
Gunling Bale, Kabonga Besar, Kabonga Kecil, Kola-Kola, Labuanbajo, Lalombi,
Limboro, Lolioge, Lolitasiburi, Lumbudolo, Lumbumarara, Maleni, Mbuwu, Powelliwa,
Salengkaenu, Salubomba, Salumpaku, Surlimana, Tanahmea, Tanjung Batu,
Tolongano, Tosale, Towale, dan Watatu (http://id.wikipedia.org).
(Iswara N. Raditya/Ker/021/10-2010)
Sumber Foto: http://id.wikipedia.org
Referensi
Agustan T. Syam, “Tanjung Karang Masih Menawan”, dalam
http://portal.cbn.net.id,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
“Banawa, Donggala”, dalam http://id.wikipedia.org, data
diunduh pada tanggal 29 September 2010.
Edi Wicaksono, “Sejarah Kabupaten Donggala”, dalam http://ediwicak.blogspot.com,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
Iin Ainar Lawide, ”Sejarah Singkat Kerajaan Banawa”,
dalam http://iinainarlawide.blogspot.com,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
Jamrin Abubakar, “Pelabuhan Donggala, Dari
Sawerigading sampai Orde Baru”, dalam http://catatanjamrin.blogspot.com,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
“Lintasan Sejarah”, dalam http://infokom-sulteng.go.id,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
Marahalim Siagian, “Kurangnya Minat Riset Antropologi
Tentang Orang Kaili”, dalam http://www.masagala.co.cc,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
“Palu Tempoe Doeloe”, dalam http://linosidiru.blog.friendster.com,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
“Sawerigading”, dalam http://id.wikipedia.org, data
diunduh pada tanggal 29 September 2010.
“Sejarah Singkat Kabupaten Donggala”, dalam http://donggala.go.id, data
diunduh pada tanggal 29 September 2010.
“Sejarah Sulawesi Tengah”, dalam http://www.sejarahbangsaindonesia.co.cc,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.
“Sureq Galigo”, dalam http://id.wikipedia.org,
data diunduh pada tanggal 29 September 2010.