Test Footer

LightBlog

Friday, August 31, 2012

Mengenal Suku Kaili di Indonesia

SUKU KAILI SULAWESI TENGAH

Pendahuluan

Negara Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang berasal dari berbagai macam suku bangsa. Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, oleh karena itu ia disebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda. Indonesia memiliki sekitar 300 kelompok etnis/suku bangsa, tiap etnis memiliki warisan budaya yang berkembang selama berabad-abad, yang dipengaruhi oleh kebudayaan India, Arab, Cina, Eropa, dan termasuk kebudayaan sendiri yaitu Melayu.
Salah satu dari 300 kelompok etnis tersebut ada sebuah suku yang bernama suku Kaili yang berada di Sulawesi Tengah. Suku bangsa Kaili merupakan penduduk mayoritas di propinsi Sulawesi Tengah, di samping suku-suku bangsa besar lainnya seperti DampelasKulawi, dan Pamona. Orang Kaili dan Dampelas menganut agama Islam, sedangkan orang Kulawi dan Pamona merupakan penganut agama Kristen. Selain itu secara keseluruhan masih ada suku-suku bangsa lainnya yang tidak begitu besar jumlahnya, yaitu Balaesang, Tomini, Lore, Mori, Bungku, Buol Toli-toli, dan lain-lain.
Dengan mengetahui dan sedikit mempelajari suku Kaili serta kebudayaan masyarakat suku Kaili ini, kita dapat mengetahui tentang kondisi dan situasi masyarakat suku Kaili. Selain itu pula dengan mempelajari kebudayaan suku Kaili ini kita dapat menentukan strategi dan metode dakwah apa yang akan kita sampaikan pada mereka jika suatu saat nanti kita diperkenankan bertemu dan berhadapan dengan mereka.
 
PEMBAHASAN
  1. Sejarah Suku Kaili
Suku Kaili adalah salah satu suku bangsa yang mendiami lembah Palu. Atau bisa disebut juga sebagai suku asli lembah Palu.  Kawasan Lembah Palu dan sekitarnya beberapa abad yang lampau merupakan dataran air sungai Palu, dan merupakan suatu wilayah yang menjadi ciri khas kebudayaan dan pemerintahan. Adapun lembah Palu ( saat ini dikenal dengan kecamatan Palu Timur dan Palu Barat, kelurahan Tondo, Petobo, dan kecamtan Marawola) adalah merupakan bagian dari kerajaan Palu yang dahulu masuk dalam lingkungan kerajaan Gowa.
Ada sejumlah versi mengenai asal-usul nama suku “Kaili” ini. Secara kebahasaan, kata kaili berasal dari nama pohon. Pohon kaili ini tumbuh subur di tepi sungai Palu dan teluk Palu. Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok kurang lebih 34 km dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya, di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air laut surut.
Berdasarkan cerita daerah setempat, di dekat kampung Bangga tumbuh menjulang pohon kaili yang sering dijadikan panduan bagi para pelaut dalam menentukan arah menuju pelabuhan Banggai.

  1. Deskripsi Lokasi
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten DonggalaKabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung GawaliseGunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-MoutongKabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu Tinombo, Moutong, Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai Poso.

  1. Unsur Kebudayaan
  1. 1.      Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari 20 bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Namun, suku Kaili tetap memilki lingua franca ( bahasa pemersatu), mereka menyebutnya sebagai bahasa “Ledo” yang artinya “Tidak”.  Bahasa Ledo ini dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise, Lasoani, Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti, Banawa, Loli, Dalaka, Limboro, Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi, Pandere) bahasa Edo (Pakuli, Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahasa Da’a (Jono’oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare’e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti “tidak”.

  1. 2.      Sistem Teknologi
    1. Sistem Teknologi Transportasi dan Komunikasi
Di abad sekaliber dan se-modern saat ini, ada beberapa suku Kaili yang masih sangat tertinggal dengan akses teknologi modern karena kehidupan masyarakat yang terasing dan terisolasi dari peradaban modern. Disamping kondisi desa penduduk Kaili dengan perbukitannya yang terjal dan sulitnya medan, transportasi untuk sampai ke desa ini terbilang sulit didapat. Untuk mencapai desa ini hanya bisa dengan menggunakan sepeda motor (ojek) dari kota Palu (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan) yang jaraknya kurang lebih 80 km, ditambah berjalan kaki sejauh 10 km menapaki bukit terjal.
Suku Kaili yang hidup dipedalaman atau dikawasan hutan mereka tidak memilki akses teknologi selayaknya suku Kaili yang tinggal di daerah pinggir kota. Akan tetapi mereka masih tetap memilki alat tradisional berupa gerobak  yang mereka simpan dibawah tempat tidur mereka.
  1. Peralatan upacara
Suku Kaili memiliki beberapa upacara adat tertentu, diantaranya adalah upacara adat pengobatan untuk ibu yang sedang hamil (Novero). Peralatan upacara yang harus dipersiapkan adalah: Suampela, sebuah tempat penyimpanan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah anyaman dari ranting bambu atau kayu tempat sesajian itu disimpan. Kulili, yaitu kayu yang dibuat berbentuk parang dan diberi warna belang hitam putih. Ose ragi, yaitu beras yang sudah diberi warna-warni. Pekaolu nuvayo, yaitu tempat berlindungnya bayangan. Tujuan pembuatannya dalah sebagai tempat roh berlindung bila mendapat gangguan makhlus halus. Toge, adalah peralatan upacara yang berbentuk tombak dan kuda berkepala dua yang dibuat dari janur. Tuvu mbuli. Mbara-mbara ( barang perhiasan/ pakaian adat). Mbara-mbara  terdiri dari: vuya (sarung), baju dan bulava (emas). Dula pulangga, (dulang berkaki), alat ini digunakan sebagai tempat menyimpan mbara-mbara. Banja mpangana (mayang pinang). Serta daun dan bunga yang wangi seperti : bunga Mbalu, daun pandan, Tamadi dan Tulasi.
Upacara adat kematian (molumu) ialah masa menyemayamkan jenazah, di mana mayat disimpan dalam peti kayu yang tertutup rapi. Adapun perlengkapan selama upacara molumu ialah: peti mayat (lumu); kipas (vara); dekorasi, semacam janur yang dibuat dari daun pandan dan bunga kemboja, yang dijadikan penghias lumu (peti mayat) serta mayang pinang dan daun-daun kelapa. Perlengkapan lainnya ialah : ula-ula, jajaka, gimba (gendang), pekabalu (kain pengikat kepala), kepala manusia, dan payung.
Upacara Naik Ayunan (Nosaviraka Ritora) yang dilakukan untuk seorang bayi agar terhindar dari gangguan makhluk halus dan dari kakak-kakaknya yang masih nakal. Upacara ini berlangsung dalam rumah, dan diperlengkapi dengan bahan-bahan upacara antara lain 4 macam makanan dari beras ketan, masing-masing disimpan di bawah ayunan, tengah rumah, satu baki untuk bagian dukun dan satu baki lagi untuk pangolo nu ngana kodi (bagian untuk bayi).
Ada pula vati dalam keluarga pada masyarakat Kaili yang mengadakan upacara Nompesuvuki ngana (mengunjungi anak) yaitu suatu upacara di mana dari pihak nenek perempuan dari ayah sang bayi mengadakan kunjungan kepada bayi dengan satu upacara tertentu pula. Upacara ini bertujuan agar anak tidak berpenyakit mata (nageri), suka menangis (marenge), dan berwatak jorok (matontoru). Peralatan yang digunakan adalah sejumlah bahan makanan dan keperluan dapur, seperti makanan dan sayur masing-masing satu belanga, kayu api, sagu, beras, pisang satu sisir, dan daun pisang 7 lembar. Alat-alat dapur antara lain tavolo (alat peniup api yang dibuat dari bambu), supi (penjepit arang api), sendok nasi, dan sayur masing-masing satu buah.
Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama (Nolama Tai) dengan menggunakan peralatan upacara berupa mantale njaka (upacara sesajian) dari sejumlah bahan makanan dan bahan-bahan perlengkapan adat lainnya. Materi-materi yang dipersiapkan di sini ialah punti jaka (pisang rebus), koluku nikou (kelapa parut), marisa nete (lombok kecil), hati kerbau yang sudah dibakar (sate), nasi masak, dan darah kambing/ayam yang disembelih. Benda-benda adat lainnya ialah sabala mesa (1 lembar sarung tenunan zaman dulu), samata doke (satu mata tombak), somata tinggora (satu mata tombak yang berakit), tatalu suraya ada (tiga piring adat), tatalu tubu (tiga buah mangkok), sang dula (satu dulang tempat penyimpanan barang-barang tersebut di atas).
Upacara Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili (Nosuna / khitan). Upacara ini sudah menjadi adat dan tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam hingga dewasa ini, secara turun temurun. Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki dan perempuan. Namun pada bahagian ini hanya diuraikan khusus pada upacara nosuna bagi anak laki-laki yang dilakukan menjelang anak berumur sekitar 7 sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang belum memasuki puber atau balig (nabalego).
  1. Alat Musik
Peralatan musik tradisional suku Kaili terbuat dari bahan alam. Salah satu peralatan musik suku Kaili adalah “Kakula”. Namun jauh sebelum alat musik ini masuk, daerah ini sudah mengenal alat musik yang terbuat dari kayu yang pipih dengan panjang kira-kira 60 cm dan tebal 2 cm serta lebar 5 sampai 6 cm disesuaikan dengan nada. Alat musik tersebut juga sering mereka katakan sebagai gamba-gamba. Gamba-gamba kayu adalah salah satu bentuk embrio atau awal dari musik kakula karena nada yang ada pada musik kakula yang terbuat dari tembaga/kuningan persis dengan nada yang ada pada gamba-gamba atau Musik Kakula Kayu.
Dan alat musik lainnya seperti Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba (gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), dan suli (suling).

  1. 3.      Sistem Mata Pencaharian
Suku Kaili penduduk asli Sulawesi Tengah adalah sebagai penduduk agraris. Suku Kaili memilki mata pencaharian sebagai petani, yang bercocok tanam di sawah, diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung, sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran beras dan jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga (sisir), pomanggi, pandoli(linggis), Taono(parang); alat penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.
  1. 4.      Sistem Kemasyarakatan
Orang Kaili pada masa lalu mengenal beberapa lapisan sosial, seperti golongan raja dan turunannya (madika), golongan bangsawan (to guru nukapa), golongan orang kebanyakan (to dea), golongan budak (batua). Selain itu mereka juga memandang tinggi golongan sosial berdasarkan keberanian (katamang galaia), keahlian (kavalia), kekayaan (kasugia), kedudukan (kadudua) dan usia (tetua).
Pola perkampungan suku bangsa Kaili terdapat tiga pola pemukiman adat, yakni Ngapa (pola permukiman mengelompokan padat), Boya (pengelompokan komunitas kecil menyebar), dan Sampoa (tempat berlabuhan). Dalam sistem kekerabatan suku Kaili bersifat bilineaal, artinya keturunan baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Ciri khas menandai jati diri suatu masyarakat adalah kepemilikan tradisional, seperti upacara adat sebagai ekspresi pengungkapan jati diri. Upacara ditentukan oleh jati sesuai status sosial dan atau warisan yang pernah diterima dari orang tua atau nenek moyangnya. Upacara nobou yakni upacara tolak bala atau upacara penyembuhan terhadap berbagai jenis penyakit biasanya upacara ini dilakukan pada kalangan raja dan bangsawan. Wujud kebudayaan masyarakat tercermin pula dalam peralatan tradisional khususnya yang berhubungan peralatan rumah tangga.
Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong) serta mengembangkan suatu nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.
Dalam masyarakat dikembangkan adab sopan santun dalam hubungan kekerabatan, misalnya bagaimana harus bersikap, berkata-kata dan bertindak terhadap orangtua atau mereka yang lebih tua usianya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya mereka yang tergolong muda harus bersikap sopan dan hormat kepada golongan yang lebih tua usianya, serta mereka yang berasal dari golongan yang lebih tinggi status sosial dan kedudukannya dalam masyarakatnya. Sebaliknya golongan tua harus dapat bersikap hati-hati dalam memberikan contoh yang baik untuk diteladani oleh para generasi muda.
Demikian pula masyarakat Suku Kaili mengembangkan sopan santun dalam tata cara pergaulan yang menentukan bagaimana orang seharusnya bersikap terhadap sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Adat sangat membatasi dan mengatur pergaulan muda-mudi. Mereka tidak dibenarkan bertemu berduaan tanpa didampingi oleh orang tua, karena itu perkawinan diatur oleh orang tua dari kedua belah pihak yang bersangkutan. Jika adat ini dilanggar, maka yang melanggar akan dikenai denda adat (nigivu) dengan memberikan sejumlah hewan tergantung dari besar kecilnya pelanggaran yang dilakukan.
Seiring berjalannya masa, dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Tengah saat ini telah dikenal sistem kepemimpinan formal, dan informal. Kepemimpinan formal dalam desa di daerah Sulawesi Tengah dikepalai oleh seorang kepala desa. Kepala desa ini dalam menjalankan tugas-tugasnya dibantu oleh sekretaris desa, kepala urusan-urusan dan kepala dusun. Kemudian kepemimpinan secara informal diketuai oleh kepala adat dan anggota adat lainnya (tokoh-tokoh adat), pemuka-pemuka agama (para ulama, imam dan pembantu-pembantunya), dan organisisasi sosial kemasyarakatan seperti organisasi pemuda, organisasi wanita, dan sebagainya.

  1. 5.      Sistem Pengetahuan
Suku Kaili banyak mendiami tempat-tempat dan daerah-daerah yang berbeda dikawasan Sulawesi Tengah, diantara sekian banyak masyarakat suku Kaili terdapat sebuah rumpun masyarakat suku Kaili yang dikenal dengan suku Kaili Da’a yang berbahasa Da’a di Jono’oge Sulawesi Tengah.
Hingga di abad teknologi muktahir yang berkembang pesat di kota-kota dimana kita tinggal, Orang Kaili Da’a ini tidak pernah mengadopsi satu bagian pun dari kemajuan teknologi itu. Anak-anak mereka bertumbuh apa adanya dengan pengetahuan yang minim yang tak lebih dari miskinnya peradaban kebudayaan Kaili. Kesulitan akses ini yang menjadikan mereka tetap terasing dan nyaris terisolasi dari peradaban modern.
Pertengahan Juni 2008, PESAT mengirimkan dua orang tenaga pengajarnya untuk membangun generasi baru Suku Kaili Da’a, membangun sekolah darurat dan mengajarkan pendidikan di sana. Penghujung Agustus 2008, sekolah perdana di suku terasing ini pun meluncur, dan antusias anak-anak
Awalnya sekolah diadakan di Bantaya, istilah untuk balai pertemuan adat bagi Suku kaili, kini Sedikitnya ada 50 anak usia sekolah berbaris rapih penuh semangat setiap pagi memasuki dua ruang kelas di “sekolah baru” mereka yang ala kadarnya, yang dinding dan lantainya terbuat dari papan dan beratap rumbia. Satu bangunan sekolah yang berdiri agak miring di tengah sabana di tanah datar di punggung bukit hasil gorong-royong masyarakat Kaili. (tulisan Feature_Radio PESAT)
Adapun Pendidikan moral masyarakat suku Kaili secara umum ditanamkan di dalam lingkungan keluarga secara ketat. Yang paling berperan dalam masalah pendidikan anak-anak adalah ibu. Oleh sebab itu anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, lebih dekat hubungannya kepada ibu daripada ayah mereka.
  1. 6.      Sistem Kesenian
Salah satu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabe tetapi oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet (merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan baju adat.
Sastra lisan dalam bentuk cerita rakyat tidak lain merupakan pencerminan atas kondisi suatu masyarakat yang didalamnya terkandung nilai kehidupan, petuah kehidupan serta berupa nasehat dari yang tua kepada yang muda serta perlunya manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan dimana mereka tinggal.
  1. 7.      Religi
Sebagian besar dari mereka sudah memeluk agama Islam terutama yang menetap di daerah pantai, sedangkan mereka yang tinggal di daerah pedalaman menganut agama Kristen atau kepercayaan nenek moyang. Mayoritas penduduknya beragama Islam.
Di samping penduduk asli suku Kaili, di Sulawesi Tengah juga terdapat suku bangsa pendatang, seperti orang Bugis dari selatan serta orang Gorontalo dan Minahasa dari sebelah utara.
Hubungan dengan suku-suku bangsa yang berasal dari Sulawesi Selatan membawa pengaruh pula dalam hal agama, dalam hal ini agama Islam yang menjadi agama mayoritas penduduk Sulawesi Selatan. Bukti sejarah menyatakan bahwa masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah berasal dari daerah Minangkabau melalui Makassar, yang dibawa oleh seorang mubalig pada saat sedang berdagang. Diperkirakan masuknya agama Islam ke Sulawesi Tengah pada abad XVII, yang mana saat itu penduduk setempat masih memeluk kepercayaan nenek moyang yaitu animisme dan dinamisme.
Namun, kepercayaan animisme dan dinamise serta kepercayaan-kepercayaan lainnya seperti kepercayaan terhadap orang yang memiliki ilmu hitam dan dapat membunuh musuhnya dengan kekuatan roh jahatnya, percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami dan menguasai tempat-tempat tertentu, dan mereka dianggap sebagai dewa penguasa (pue) tempat-tempat tersebut, mempercayai adanya benda-benda sakti, seperti tana sanggamu (tanah segenggam) yang diyakini sebagai salah satu benda sakti, tidak serta merta langsung hilang begitu saja. Penduduk yang bermukim di daerah pedalaman, atau mereka yang termasuk kelompok terasing di Sulawesi Tengah, seperti suku bangsa Tolare, Wana, Seasea, dan Daya masih memegang kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Dengan masuknya agama Islam sebagai agama mayoritas serta agama-agama lain (terutama Kristen), kepercayaan-kepercayaan nenek moyang tersebut belum hilang sama sekali, bahkan tumbuh dan berkembang bercampur dengan agama dalam bentuk sinkretisme. Hal ini dapat disaksikan dalam penyelenggaraan upacara-upacara adat yang sudah merupakan perpaduan antara sistem kepercayaan lama dan agama. Meskipun demikian upacara-upacara yang dianggap kurang sesuai dengan agama berangsur-angsur hilang dalam bentuk aslinya, tinggal sisa-sisanya yang dikembangkan dalam simbol-simbol tertentu. Keadaan seperti ini terutama berlaku dalam suku-suku bangsa yang sudah memeluk salah satu agama.

  1. D.    Nilai- nilai Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya didalam kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang harus dipatuhi, dan mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat serta kearifan lokal yang melingkupi kehidupan penduduk suku Kaili.
Salah satu nilai kehidupan yang berbunyi nilinggu mpo taboyo merupakan manifestasi keakraban hubungan kekerabatan. Pada hakikatnya nilai ini dapat diartikan sebagai suatu sikap hidup yang tidak menginginkan adanya jarak atau perbedaan yang dalam antara sesama kerabat, dalam hal ini perbedaan kaya dan miskin. Biasanya mereka yang tergolong mampu atau berkecukupan dalam hidup selalu menolong kerabatnya agar dapat hidup lebih layak.
Terdapat pula nilai yang dapat menunjukkan kesetiakawanan atau solidaritas dengan sesamanya, yaitu nilai gotong royong (nolunu). Nilai hidup ini merupakan realisasi kebersamaan mereka dalam menghadapi suatu kerja, yang manifestasinya dapat terlihat dalam segala aktivitas hidup sehari-hari, seperti bantu-membantu dalam suatu pekerjaan besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, memberi pertolongan kepada keluarga yang sedang dirundung musibah, serta kegiatan-kegiatan lainnya yang akan lebih cepat terselesaikan jika dikerjakan bersama-sama.

  1. Strategi Dakwah
Melihat dan memperhatikan segala gejala dan fenomena kebudayaan yag terjadi pada masyarakat suku Kaili, kita dapat menentukan suatu strategi dakwah yang sesuai untuk menyikapi kebudayaan dan kondisi setempat.
Rasa seni adalah penjelmaan rasa keindahan dalam diri manusia dan merupakan fitrah yang dianugerahkan Allah swt yang harus dipelihara dan disalurkan dengan baik dan benar sesuai jiwa ajaran Islam. Dari seni inilah timbul berbagai macam kebudayaan beserta konten budaya yang berbeda-beda di setiap tempat.
Permasalahan budaya inilah yang juga menjadi bahan dan sasaran dakwah. Sinkretisme budaya yang terjadi pada suku Kaili ini khususnya. Kepercayaan-kepercayaan dari nenek moyang bercampur dengan ajaran agama dalam bentuk upacara-upacara adat setempat, meski demikian hingga saat ini upacara-upacara yang tidak sesuai dengan agama telah berangsur-angsur hilang, akan tetapi simbol-simbol tertentu dari budaya sinkretisme itu masih terus berkembang.
Disinilah para da’i dan muballigh memainkan perannya yang sangat penting demi menghilangkan budaya sinkretisme yang jauh dari nilai-nilai Islam. Suatu kebudayaan yang telah menjadi ciri khas suatu tempat tidak harus serta merta dihilangkan begitu saja jika tidak sesuai dengan ajaran Islam. Namun dibutuhkan proses untuk hal itu, kebudayaan setempat harus tetap dihargai untuk ada, akan tetapi hal-hal dalam kebudayaan tersebut yang tidak sesuai dengan ajaran Islam bisa kita rubah dan ganti perlahan dengan hal-hal yang berasal dan berasaskan Islam. Dengan demikian ciri khas kebudayaan masih tetap ada namun ada beberapa hal yang masuk menggantikan budaya setempat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan dakwah kultural inilah para da’i akan dapat menghadapi problem kebudayaan yang mereka temui di setiap daerah yang memiliki budaya dan adat berbeda-beda. Dalam dakwah kultural ini juga akan dibutuhkan media yang dapat mengembangkannya, khususnya yang berkaitan dengan seni dan budaya. Karena disaat kita memiliki dan menguasai sebuah media, disitulah kita akan menemui dan diantarkan pada kesuksesan pencapaian rencana kita. Di samping itu, para juru dakwah juga harus diberikan wawasan agar mampu melihat kultur dan budaya lokal dari sisi dalam bukan dari sisi luarnya. Dengan perspektif semacam ini berarti mubaligh dan da’i dapat terbebas dari beban psikologis jika harus menjadikan kultur dan budaya lokal sebagai media berdakwah. Jika usaha ini terus dikembangkan maka tidak tertutup kemungkinan lahir para da’i dan mubaligh yang lebih menekankan pentingnya kearifan lokal (local wisdom).
Satu hal lagi yang juga harus diingat dan diperhatikan adalah berdakwah melalui pendidikan. Karena sebagaimana telah diketahui sebelumnya, bahwasannya masyarakat suku Kaili ini tidak semuanya hidup dipinggir kota yang bisa mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi dengan mudah. Masih ada beberapa masyarakat suku Kaili yang hidup dipedalaman dan jauh dari kota, sehingga akses pendidikan dan teknologi pun sulit menjangkau daerah tersebut. Dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat suku baik dari mulai yang masih kanak-kanak hingga orang dewasa dan orang tua pun masih sangat diperlukan. Karena lewat pendidikan inilah kita juga dapat memberikan pengajaran dan ilmu kepada mereka tentang Islam yang sebenarnya serta nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang ada pada agama Islam.
 
  1. Kesimpulan
Indonesia negara seribu pulau, memiliki beratus macam suku dan bahasa. Namun hanya kesamaan agama dan bahasa yang dapat menyatukannya. Di tengah-tengah kehidupan modern dan global saat ini, para da’i dan muballigh dihadapkan pada permasalahan dakwah yang semakin kompleks dan tidak mudah. Beragamnya suku bangsa Indonesia juga menjadi tantangan sendiri bagi juru dakwah. Menghadapi kebudayaan-kebudayaan yang berbeda satu sama lain dan berbeda pula menurut sudut pandang agama Islam.
Juru dakwah dihadapkan pada satu permasalah kebudayaan ini, terjadinya peristiwa lintas budaya yang memberi peluang terjadinya proses saling mempengaruhi antarbudaya sehingga memunculkan sifat dan bentuk budaya yang akulturasi, asimilasi, simbiotik, adoptasi, dan sinkretisme. Dari proses inilah budaya daerah berkembang karena adanya pengaruh dari budaya luar. Budaya setempat berkurang dan hilang namun justru menimbulkan budaya baru yang terkadang jauh dari nilai-nilai agama (Islam).
Hal itulah yang juru dakwah hadapi saat ini. Akan tetapi ketika juru dakwah ini sudah mengetahui tentang kebudayaan daerah dari suku-suku bangsa di Indonesia ini, maka mereka akan dengan mudah memetakan dan menetapkan dakwah apa yang sesuai untuk menghadapi masyarakat yang memliki kebudayaan berbeda satu sama lainnya. Karena itu mempelajari kondisi mad’u beserta tempat dimana mereka tinggal dan berasal sangat dibutuhkan oleh semua juru dakwah demi keberhasilan misi dakwah Islam.



Daftar Pustaka

0 comments:

Post a Comment

Tanggapan