TRADISI BUDAYA MASYARAKAT SUKU KAILI
PENDAHULUAN
Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian
besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai
timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso. Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk
Tsomini yaitu Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang
di Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai
Poso.
Untuk menyatakan "orang
Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To"
yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari
kata Kaili, salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku
Kaili ini berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di
hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu.
B.budaya suku kaili
Upacara
pernikahan adalah
upacara adat yang diselenggarakan dalam rangka menyambut peristiwa pernikahan.
Pernikahan sebagai peristiwa penting bagi manusia, dirasa perlu disakralkan dan
dikenang sehingga perlu ada upacaranya. seperti halnya upacara perkawinan
masyarakat Kaili di Palu, bagi masyarakat Sulawesi Tengah secara keseluruhan,
selalu ada upacaranya. Misalnya dimulai sejak sebelum kelahiran bayi, yakni
upacara masa hamil, kemudian adat dan upacara kelahiran, adat dan upacara
sebelum dewasa, adat dan upacara perkawinan dan upacara kematian. Dari sekian
banyak upacara tersebut, maka upacara peralihan dari masa kanak-kanak ke masa
dewasa dilakukan sangat unik.
Beberapa
diantaranya adalah nopasoa(orang yang akan mandi uap), Nokolontigi (malam pacar),Mematua(kunjungan pengantin kepada mertua,dll tetapi pada kesempatan kali ini
saya akan menjelaskan nokolotongi, dan adat mematua.sebagai berikut, tentang upacara perkawinan dan tata
cara perkawinan :
A. Nokolontigi (malam pacar)
Nokolontigi
dilaksanakan
pada malam hari dirumah calon pengantin perempuan, yang biasanya dilaksanakan
sehari sebelum upacara akad nikah. Tujuan dari upacara adat tersebut antara
lain ialah :
1. Memeberikan
kekuatan kepada kedua calon pengantin agar tidak mudah dipengaruhi oleh setan
atau roh-roh jahat.
2. Memberikan
makna dan arti simbolik bagi keduanya tentang ancaman bilamana terjadi
perceraian.
3. Agar kedua
calon pengantin dapat panjang umur, murah rezeki, hati tenang, pikiran tajam,
dan banyak anak.
.
Adapun alat-alat kelengkapan upacara antara lain :
a. Daun pacar
(kolontigi) yang sudah ditumbuk halus
yang dapat meberi warna merah pada telapak tangan, kaki, atau kuku calon
pengantin.
b. Sebuah
baki dengan beberapa mangkok kecil berisi minyak kelapa, kapur sirih, bedak,
dan kain putih untuk membersihkan tangan.
c. Daun siranindi, atau daun pendingin dan
sebuah bantal yang beralaskan daun pisang.
Nilai simbolis dari alat-alat perlengkapan tersebut adalah :
o Daun pacar
adalah lambang darah (pengorbanan bila mana bercerai)
o Minyak
kelapa digosok di kepala, simbol bahwa kepala itu dipotong bilamana berkhianat.
o Kapur
sirih dan Bedak sebagai lambang batang leher yang akan disembelih.
o Kain putih
adalah lambang dari kain kafan (mayat).
Mengenai jalannya upacara Nokolontigi adalah sebagai berikut :
1. Minta
kesediaan kepada 5 orang, 7 orang atau 9 orang yang dituakan dan hadir pada
saat upacara Nokolontigi berlangsung.
Biasanya orang tua yang terpilih adalah biasanya orang tua yang memiliki status
sosial ditengah masyarakat, orang yang murah rezeki, memiliki anak dan cucu,
serta berhasil dalam mebina rumah tangganya. Penetapan 5 orang, 7 orang atau 9
orang terkait dengan tatus sosial calon pengantin.
2. Oarang tua
yang sudah ditetapkan jumlahnya dan mendapat kepercayaan itu meletakkan Kolontigi itu ( daun pacar yang sudah
dihaluskan) sambil menggosok ditelapak tangan calon pengantin secara bergilir,
sebagai simbol untuk memberi warna merah disekitar ditangan. Orang ketujuh atau
kesembilan yang mendapat kesempatan terakhir menutup pemberian Kolontigi dengan cara mengangkat dan
memutar-mutar lilin disekitar muka dan kepala calon pengantin dan setelah itu
menghambur beras kuning kesekujur tubuh calon pengantin.
3. Bagi calon
pengantin laki-laki yang turut serta dalam acara Nokolontigi di rumah calon pengantin perempuan diteruskan dengan
cara Nepadupa artinya suatu
penghargaan terhadap calon pengantin laki-laki ditandai dengan pemberian sarung
(buya sabe) yang telah dipersiapkan
oleh keluarga calon pengantin perempuan
unntuk dipakai pengentin laki-laki pada upacara itu.
4. Kemudian
dilanjutkan dengan makanan jajan teradisional sekedarnya sebagai tanda ucapan
syukur atas berlangsungnya upacara tersebut. Akhir dari upacara ini juga
memaknai bahwa antara kedua calon pengantin itu telah terikat oleh ikatan
batin. Setelah itu calon pengantin laki-laki diantar pulang kerumahnya.
B. Mematua(Kunjungan
pengantin kerumah mertua)
Mematua adalah kunjungan pengantin
perempuan kerumah mertuanya. Tujuan upacara ini ialah memberi penghargaan dan penghormatan
kepada mertuannya. Sebagai pertanda sudah adanya hubungan kekeluargaan dan
sebagai balasan anak laki-lakinya yang sudah menjadi keluarga pihak wanita.
Dengan cara ini maka secara resmi pengantin melaporkan diri pada pihak keluarga
suaminya sudah menjadi anggota dari keluarga dari keluarga pihak suaminya. Juga
dengan uapacara ini menghilangkan rasa keengganan, kekakuan pengantin perempuan
dalam penyesuaian diri dalam lingkungan keluarga suaminya khususnya hubungan
dengan mertuanya.
Upacara mematua ini dilaksanakan dirumah pengantin laki-laki dengan sajian
kecil-kecilan, dimana dihadiri oleh seluruh kerabat dekat pihak laki-laki serta
tua-tua adat. Biasanya pula sang suami berkewajiban mengantar sang istri
mengunjugi rumah sanak keluarganya satu persatu untuk memperkenalkan diri
secara lebih dekat.
Waktu pelaksanaan ini biasanya 5
sampai 7 hari sesudah pesta perkawinan, dan kadang-kadang tergantung dari
situasi setelah pesta selesai. Dalam mematua ini kedua sang pengantin biasannya
bermalam satu mala, kemudian kembali kerumah pengantin perempuan.
Mengenai jalannya upacara adalah
sebagai berikut :
a.
Setelah
waktu mematua ditentukan dan
diberitahukan kepada mertua (orang tua laki-laki), maka pengantin baru diantar
oleh orang tua perempuan dan beberapa orang keluarga dekat kerumah mertua
laki-laki.
b. Setibanya
anak mantu dirumah, diadakan acara niingga
yaitu pemasangan sejenis gelang yang terbuat dari manik-manik (botiga) yang dilakukan oleh orang tua
perempuan laki-laki (mertua perempuan) kepada anak mantunya itu. Acara ini
memberikan arti simbol bahwa anak mantunya resmi sebagai anggota keluarga pihak
suaminya.
c.
Disamping
acara niingga tersebut juga oleh
mertuanya memberikan kepada anak mantunya sebuah kalung emas dan cincin emas
yang langsung dipasangkan sendiri kepada leher dan jari manis anak mantunya
itu. Pemberian ini sebagai manifestasi kasih sayang dan kegembiraan menyambut
kedatangan anak mantunya yang baru.
d. Selanjutnya
diadakan makan bersama sekedarnya meliputi suasana santai, penuh dengan rasa
kekeluargaan yang akrab. Dengan selesainya upacara tersebut maka selesai semua
upacara-upacara dalam rangkaian perkawinan itu.
2.
ADAT Kehamilan PADA
Suku kaili
Asal-Usul
Kesehatan bayi
dalam kandungan harus selalu dijaga. Salah satu cara agar bayi dalam kandungan
senantiasa sehat adalah dengan menjaga kesehatan si ibu yang mengandung si bayi.
Sebelum dikenal adanya dokter yang mampu memeriksa dan mengobati seorang ibu
yang sedang hamil, masyarakat tradisional mempunyai cara khusus untuk
mengupayakan kesehatan si ibu yang sedang mengandung. Salah satu suku di
Indonesia yang mempunyai cara khusus untuk menyembuhkan seorang ibu hamil
yang sedang sakit adalah Suku Kaili yang berada di Sulawesi Tengah,
Indonesia.
1.
Upacara selamatan kandungan pada masa hamil pertama
(Nolama Tai)
Upacara ini adalah upacara
selamatan kandungan pada kehamilan anak yang pertama apabila kandungan berusia
7 bulan. Upacara ini sering dinamakan No jemparaka manu (memisah-misahkan
bagian daripada daging ayam) atau biasa disebut mantale (membuat sesajian).
Nama-nama itu ditonjolkan sesuai dengan penonjolan dari bagian upacara ini
yaitu memenggal bagian daging ayam untuk upacara sebagai sesajian utama dalam
upacara Nolama Tai. Upacara ini bagi masyarakat Kaili berbeda kualitas dan
kuantitasnya sesuai dengan kedudukan sosial seseorang atau Vati seseorang dalam
masyarakat.
a. Maksud
Penyelengaraan Upacara
Tujuan upacara ini adalah
dimaksudkan agar kelahiran sang bayi dapat berlangsung dengan selamat tanpa
cacat jasmani dan rohani, serta keselamatan ibu yang akan melahirkan, dan juga
agar ibu terhindar dari gangguan-gangguan rate.
Dari mantera-mantera sando
(dukun) diketahui bahwa tujuan upacara ini adalah agar anak yang lahir kelak
tidak tuli, kudisan, bodoh, nakal, penyakitan, dan sebagainya. Menurut
kepercayaan masyarakat Kaili bahwa leluhur mereka yang disebut rate selalu
mengganggu dan menjadi sebab berbagai penyakit tersebut di atas, dan bagi bayi
dalam kandungan apabila upacara diabaikan.
b. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini dilakukan pada siang hari sebelum matahari
condong ke barat. Hal ini sebagai suatu simbol bahwa bayi yang akan lahir kelak
memiliki sumber kekuatan dan tenaga serta murah rezeki. Usia kandungan yang
diupacarakan berkisar antara 7 sampai 9 bulan dan pantang untuk bulan ke 8
karena dianggap bulan yang kurang baik. Penetapan waktu ditetapkan dengan
seksama melalu ilmu Kotika dengan cara menghitung hari bulan di langit yang
dianggap sebagai hari baik dan disepakati oleh dua belah pihak orang tua suami
istri dan sando.
c. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Upacara diselenggarakan di rumah dan tempat-tempat
tertentu yang dianggap berkaitan dengan kekuatan magis religius, atau tempat
yang dianggap dikuasai oleh kekuatan roh halus dan dihuni oleh rate di dalam
dan di luar rumah. Di dalam rumah upacara ini dilaksanakan di beranda depan,
yaitu di depan pintu rumah (tambale), sedangkan kalau di luar rumah disiapkan
tempat tertentu sebagai tempat sesajian sesuai kondisi lingkungan desa
bersangkutan.
d. Penyelenggaran Teknis Upacara
Upacara ini dipimpin oleh seorang dukun wanita (sando)
yang dapat berkomunikasi dengan mahluk halus dan telah berusia lanjut. Tidak
kurang peranannya ialah orang tua kedua belah pihak yang menyediakan korban
upacara seperti kambing atau domba bagi keluarga bangsawan dan ayam bagi
keluarga biasa.
E. Jalannya Upacara
Dalam upacara nolama bagi keluarga bangsawan, pertama
ialah mengadakan undangan (pegaga), yaitu suatu undangan dengan jalan
mengundang langsung dari rumah ke rumah jauh sebelum upacara diadakan. Bila
telah tiba hari yang ditentukan, undangan-undangan dijemput kembali (neala)
dari rumah ke rumah. Kegiatan ini disebut peonggotaka (suatu penghormatan dari
keluarga yang berpesta) kepada orang tua adat.
Pada hari upacara diadakan penyembelihan kambing/domba
yang disembelih tersebut dibakar/dipanggang di atas api (nilambu), sehingga
seluruh bulu-bulunya habis terbakar. Maksudnya agar kulitnya dapat diproses
menjadi bahan makanan. Sebelum dagingnya dipotong-potong hatinya diambil lebih
dahulu yang biasa disebut nompesule (mengambil hati) dan langsung ditusuk dan
dibakar sebagai bahan sesajian atau nilanjamaka (dijadikan sesajian).
2. Pengobatan Ibu
Hamil
Upacara
Novero (upacara pengobatan apabila sang ibu yang hamil kurang sehat)
Upacara ini dapat juga dilaksanakan bagi ibu yang
tidak hamil, namun ada perbedaan-perbedaan yang tidak berarti.
1. Maksud Penyelenggaraan Upacara
Novero (mengobati penyakit) atau moragi ose (memberi
warna warni beras) bertujuan untuk menyembuhkan ibu hamil dari penyakit yang
dideritanya karena nilindo nuviata (diganggu mahluk halus).
2. Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini sering dilaksanakan serentak dengan
upacara nolama, yaitu bila ibu hamil kelihatannya kurang sehat. Perbedaannya
ialah nolama lebih dekat kepada pemujaan arwah nenek moyang, sedangkan novero
lebih berorientasi kepada mahluk-mahluk halus yang dianggap jahat.
3. Tempat Penyelenggaraan Upacara
Tempat upacara diadakan di luar rumah, di tempat yang
dipercayai sebagai tempat hunian mahluk halus, seperti di tepi sungai, tepi
pantai, di pohon-polion besar, dan sebagainya. Dan di sini pula dibuat
suampela, sebuah tempat penyimpangan sesajian yang dibuat dari kayu bertiang
tiga. Pada bagian atas dibuat sebuah anyaman dari ranting kayu atau bambu
tempat sesajian itu disimpan, dan kulili (kayu yang dibuat seperti model
parang, yang diberi warna belang hitam putih). Ketiganya (suampela, kulili, dan
berbagai jenis makanan) merupakan perlengkapan upacara novero tersebut termasuk
ose ragi (beras yang telah diberi warna-warni) seperti disebutkan di atas.
4. Penyelenggara Teknis Upacara
Yang berperan dalam upacara ini ialah seorang dukun
wanita sejak awal sampai dengan upacara ini selesai. Pihak-pihak lain yang
terlibat terbatas dalam lingkungan keluarga terdekat saja, yang mempersiapkan
perlengkapan upacara adat lainnya.
5. Persiapan dan Perlengkapan Upacara
Perlengkapan-perlengkapan selain yang telah disebutkan
di atas ialah membuat pekaolu nuvayo (tempat berlindungnya bayangan), maksudnya
tempat roh kita berlindung bila mendapat gangguan mahluk halus. Juga
perlengkapan yang disebut toge, yang dibuat semacam janur dari daun kelapa
seperti bentuk tombak, kepala kuda yang berkepala dua dan berkepala sebelah dan
lain-lain. Pada bagian bawah janur tersebut bersusun 4-5 dan yang terakhir
inilah yang disebut pekaolu nuvayo. Perlengkapan lainnya ialah tuvu mbuli
seperti yang telah disebutkan terdahulu.
Di dalam rumah disiapkan mbara-mbara (barang
perhiasan/pakaian adat) yaitu vuya (sarung), baju, dan bulava (emas). Ketiganya
disimpan di atas dula palangga (dulang berkaki).
Selanjutnya diadakan acara noronde (dialog dukun
dengan orang-orang yang ada dalam rumah). Dialog tersebut terjadi sebagai
berikut:
Dukun : "Nolompemo yanu!!" (Si Anu sudah
sembuh). Orang di rumah menjawab : "Yo nalompemo" (Ya sudah), eva apu
nitulaka uve (seperti api kena air), eva kuni niboli toila (seperti kunyit
diberi kapur). Dukun naik ke rumah sambil berkata kepada ibu hamil:
"niratakumo vayo miu, naialaku riviata, rikarampua, rirate njae, rirate
vou" (saya sudah menemukan sumber kekuatan hidup yang hilang dari viata
(setan/jembalang) dari para dewa dan roh-roh nenek moyang yang telah lama dan
baru meninggal).
Acara terahir ialah noave ose niragi, bila ibu telah
melahirkan dengan selamat, maka ose niragi (beras 4 warna) yang disebutkan di
atas valas suji (semacam rakit kecil). Noave (mengalirkan) barang tersebut
mengandung arti nompakatu (mengirimkan sesajian) tersebut kepada pue ntasi
(penghuni laut) diiringi pula dengan mantera-mantera yang isinya minta segera
ibu hamil yang sakit segera sembuh, dan karena penyakit sudah terbawa ke laut,
pergi bersama penyakit.
Dengan selesainya acara ini, selesailah upacara novero
tersebut bagi seorang ibu hamil yang kurang sehat.
3.
Upacara
penyembuhan masyarakat dan tradisi lainnya
a.
Balia: Upacara Penyembuhan Penyakit Etnik
Kaili
Etnik Kaili melakukan penyembuhan
penyakit melalui dukun bila ada orang sakit yang dianggap ditegur oleh makhluk
halus. Orang sakit itu diobati dengan suatu upacara yang disebut
"Nobalia" atau "Novurake". Upacara Nobalia, yaitu: dukun
membaca mantera-mantera kemudian ia menjadi kesurupan. Ketika dukun tersebut
kesurupan maka menari-nari di atas bara api, yang kemudian ia melawan/mengusir
makhlus halus supaya kembali ke tempat-nya atau berhenti mengganggu orang yang
sakit. (anehnya belum satupun fotografer berhasil mengabadikan dukun menari
diatas api)
Secara etimologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya “berubah ia”. Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku Balia telah dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku, gerak, perbuatan, cara berbicara sampai pada cara berpakaian orang tersebut akan berubah. Salah satu contoh, seorang pelaku Balia wanita, bila roh yang masuk ke dalam tubuhnya adalah laki - laki, maka ia pun langsung merubah cara berpakainnya seperti memakai sarung, kemeja, kopiah dan merokok. Gerak, tingkah laku dan cara berbicaranya pun tak ubahnya laki-laki. Sebaliknya, hal ini juga berlaku pada pelaku Balia pria yang dimasuki oleh roh halus wanita, dalam bahasa Kaili disebut “Bayasa” ( laki-laki yang berperilaku wanita ).
Pengertian lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” atau “robah dia”. Dalam pengertian ini, kata “robah dia” lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita seseorang yang diupacarakan agar disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan merubah seseorang yang “sakit” menjadi “sembuh”.
Seperti diketahui bahwa nilai budaya merupakan konsep - konsep mengenai apa yang hidup dan alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, penting, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tersebut.
Demikian halnya dengan upacara ritual penyembuhan “Balia”. Dari pengertian kebudayaan serta unsur - unsurnya secara umum, Balia merupakan salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili. Meskipun sebagian besar etnis Kaili ( To Kaili ) memeluk agama Islam, namun sampai saat ini masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dimana segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik buruknya, semua ada yang mengaturnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Kaili: “Tupu Taala”). Selain kekuatan “Tuhan”, orang Kaili juga mempercayai adanya hal-hal gaib, kekuatan roh yang dapat mendatangkan petaka, musibah, penyakit, bila murka akan perilaku manusia.
Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di mana-mana, dalam pengertian bahwa langit dan bumi serta segala isinya di dunia ini memiliki penghuni / penjaga. Kekuatan gaib di langit disebut “karampua” dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut “anitu”. Selain itu segala isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga diyakini berpenghuni.
Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia dalam kehidupannya membuat para penghuni dan pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab bagi manusia berupa bencana atau penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat, memohon kepada “Penguasa” alam agar dijauhkan dari malapetaka, disembuhkan dari penyakit yang diderita. Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui upacara ritual “Balia” dengan memberikan sesajian sebagai persembahan seraya memohon kesembuhan dan keselamatan bagi umat manusia.
Mempelajari sejarah orang Kaili dari sudut antropologi, menurut legenda, cikal bakal orang Kaili berasal dari “bambu kuning”, erat kaitannya dengan “Sawerigading” Savi = lahir / timbul rigading = di bambu kuning ( bahasa Makassar ), artinya sama dengan bahasa Kaili “Topebete ribolovatu mbulava” atau “orang yang lahir / muncul dari bambu kuning”. Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka, sehingga apa yang dilakukan oleh Sawerigading diikuti oleh oleh keturunannya, termasuk Balia.
Berdasarkan keterangan - keterangan dari tokoh - tokoh pelaku upacara ritual Balia, bahwa yang pertama - tama mempertunjukan Balia adalah Sawerigading. Balia yang dilakukan oleh Sawerigading berupa gerak - gerak tari seperti orang yang kesurupan sampai mengalami trance. Kala itu banyak orang yang datang menonton Balia, termasuk orang yang sakit. Anehnya ketika menyaksikan Balia, orang - orang yang sakit ketika sampai dirumahnya pulang menonton Balia, ia menjadi sembuh.
Dari peristiwa itulah, Balia mulai dilakukan oleh orang Kaili. Namun diyakini bahwa penyakit yang diderita tentu ada penyebabnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan gaib dan penghuni / penjaga alam semesta. Kaitan keterangan sejarah singkat orang Kaili seperti yang telah disebutkan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya ( Ralfh L Beas dan Harry Hoijen:1954:2 ).
Ditengah perkembangan dan kemajuan peradaban dewasa ini, Balia sebagai salah satu media penyembuhan orang sakit, masih dilaksanakan oleh orang Kaili. Tak jarang dijumpai dalam pola hidup orang Kaili, bila ada anggota keluarga yang sakit, sudah dibawa ke dokter, diinapkan di rumah sakit, tapi tak kunjung sembuh, sebagai upaya penyembuhan secara adat istiadat diupacarakan dengan ritual Balia.
Pelaksanaan upacara ritual Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas, terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara gotong royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat sekitarnya. Bangunan ini disebut “Bantaya” atau balai pertemuan, tempat berkumpulnya para pelaku upacara selama prosesi upacara berlangsung. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat, disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara Balia instrumen musik berupa gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaannya. Instrumen music ini dimainkan untuk mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari (bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan roh halus.
Bila upacara Balia digelar, selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan strata sosial. Selain sebagai sebuah bentuk upacara tradisi, Balia telah menjadi konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil - kecilan karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain - lain.
Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih terpelihara, membentuk sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi Tengah yang hingga kini belum ada satu pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi sebagai salah satu local genius ( kearifan lokal ), wujud dari sebuah kebudayaan yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon ( ikon budaya ).
Apresiasi dan penghargaan, itulah yang sangat diharapkan terhadap ke - Bhinneka - an kebudayaan negeri ini. Menjaga, merawat, memelihara dan melestarikan kebudayaan sebagai perekat pemersatu bangsa, tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama sebagai pemilik kebudayaan tersebut. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya.
Secara etimologi “Balia” berasal dari bahasa Kaili “Nabali ia” artinya “berubah ia”. Perubahan yang dimaksud dalam pengertian ini adalah ketika seseorang pelaku Balia telah dimasuki oleh roh halus, maka segala perilaku, gerak, perbuatan, cara berbicara sampai pada cara berpakaian orang tersebut akan berubah. Salah satu contoh, seorang pelaku Balia wanita, bila roh yang masuk ke dalam tubuhnya adalah laki - laki, maka ia pun langsung merubah cara berpakainnya seperti memakai sarung, kemeja, kopiah dan merokok. Gerak, tingkah laku dan cara berbicaranya pun tak ubahnya laki-laki. Sebaliknya, hal ini juga berlaku pada pelaku Balia pria yang dimasuki oleh roh halus wanita, dalam bahasa Kaili disebut “Bayasa” ( laki-laki yang berperilaku wanita ).
Pengertian lain tentang kata “Balia” adalah “bali ia” atau “robah dia”. Dalam pengertian ini, kata “robah dia” lebih dikonotasikan pada penyakit yang diderita seseorang yang diupacarakan agar disembuhkan. Sederhananya dapat diartikan merubah seseorang yang “sakit” menjadi “sembuh”.
Seperti diketahui bahwa nilai budaya merupakan konsep - konsep mengenai apa yang hidup dan alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai, berharga, penting, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tersebut.
Demikian halnya dengan upacara ritual penyembuhan “Balia”. Dari pengertian kebudayaan serta unsur - unsurnya secara umum, Balia merupakan salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili. Meskipun sebagian besar etnis Kaili ( To Kaili ) memeluk agama Islam, namun sampai saat ini masih memiliki kepercayaan yang berkaitan dengan animisme dimana segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini, baik buruknya, semua ada yang mengaturnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Kaili: “Tupu Taala”). Selain kekuatan “Tuhan”, orang Kaili juga mempercayai adanya hal-hal gaib, kekuatan roh yang dapat mendatangkan petaka, musibah, penyakit, bila murka akan perilaku manusia.
Di kalangan etnis Kaili, kekuatan - kekuatan gaib itu dipercaya ada di mana-mana, dalam pengertian bahwa langit dan bumi serta segala isinya di dunia ini memiliki penghuni / penjaga. Kekuatan gaib di langit disebut “karampua” dan pemilik kekuatan gaib di bumi / tanah disebut “anitu”. Selain itu segala isi alam seperti batu, pohon, laut, gua, gunung, bukit, dan lain - lain, juga diyakini berpenghuni.
Kelalaian, pelanggaran dari perilaku manusia dalam kehidupannya membuat para penghuni dan pemilik kekuatan gaib tersebut murka dan memberikan azab bagi manusia berupa bencana atau penyakit. Konsekwensi dari segala kejadian tersebut, manusia diwajibkan untuk bertobat, memohon kepada “Penguasa” alam agar dijauhkan dari malapetaka, disembuhkan dari penyakit yang diderita. Wujud pertobatan itulah yang dilakukan oleh orang Kaili melalui upacara ritual “Balia” dengan memberikan sesajian sebagai persembahan seraya memohon kesembuhan dan keselamatan bagi umat manusia.
Mempelajari sejarah orang Kaili dari sudut antropologi, menurut legenda, cikal bakal orang Kaili berasal dari “bambu kuning”, erat kaitannya dengan “Sawerigading” Savi = lahir / timbul rigading = di bambu kuning ( bahasa Makassar ), artinya sama dengan bahasa Kaili “Topebete ribolovatu mbulava” atau “orang yang lahir / muncul dari bambu kuning”. Sawerigading diyakini oleh orang Kaili sebagai nenek moyang mereka, sehingga apa yang dilakukan oleh Sawerigading diikuti oleh oleh keturunannya, termasuk Balia.
Berdasarkan keterangan - keterangan dari tokoh - tokoh pelaku upacara ritual Balia, bahwa yang pertama - tama mempertunjukan Balia adalah Sawerigading. Balia yang dilakukan oleh Sawerigading berupa gerak - gerak tari seperti orang yang kesurupan sampai mengalami trance. Kala itu banyak orang yang datang menonton Balia, termasuk orang yang sakit. Anehnya ketika menyaksikan Balia, orang - orang yang sakit ketika sampai dirumahnya pulang menonton Balia, ia menjadi sembuh.
Dari peristiwa itulah, Balia mulai dilakukan oleh orang Kaili. Namun diyakini bahwa penyakit yang diderita tentu ada penyebabnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan keyakinan dan kepercayaan kepada kekuatan gaib dan penghuni / penjaga alam semesta. Kaitan keterangan sejarah singkat orang Kaili seperti yang telah disebutkan bahwa antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya ( Ralfh L Beas dan Harry Hoijen:1954:2 ).
Ditengah perkembangan dan kemajuan peradaban dewasa ini, Balia sebagai salah satu media penyembuhan orang sakit, masih dilaksanakan oleh orang Kaili. Tak jarang dijumpai dalam pola hidup orang Kaili, bila ada anggota keluarga yang sakit, sudah dibawa ke dokter, diinapkan di rumah sakit, tapi tak kunjung sembuh, sebagai upaya penyembuhan secara adat istiadat diupacarakan dengan ritual Balia.
Pelaksanaan upacara ritual Balia umumnya dilaksanakan di tempat terbuka, seperti lapangan atau halaman rumah yang luas, terdapat sebuah bangunan besar tidak permanen yang dibangun secara gotong royong oleh keluarga yang akan melaksanakan upacara, dibantu oleh masyarakat sekitarnya. Bangunan ini disebut “Bantaya” atau balai pertemuan, tempat berkumpulnya para pelaku upacara selama prosesi upacara berlangsung. Waktu pelaksanaan upacara pada malam hari selama 3 - 4 hari berturut - turut. Penetapan waktu pelaksanaannya ditentukan oleh tokoh adat setempat, disesuaikan dengan hari baik menurut kepercayaan orang Kaili. Dalam upacara Balia instrumen musik berupa gendang, gong, lalove (suling panjang khas Kaili) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses pelaksanaannya. Instrumen music ini dimainkan untuk mengiringi para pelaku Balia yang menari - nari (bahasa Kaili: Notaro) karena telah kesurupan roh halus.
Bila upacara Balia digelar, selalu ramai dikunjungi oleh masyarakat. Ritual ini menjadi sebuah media pertemuan masyarakat dari segala tingkatan usia dan strata sosial. Selain sebagai sebuah bentuk upacara tradisi, Balia telah menjadi konsumsi hiburan masyarakat bahkan menjadi pasar kecil - kecilan karena masyarakat lainnya juga memanfaatkan momen ritual ini dengan menggelar dagangan makanan kecil seperti : kacang, pisang, kue-kue, minuman, dan lain - lain.
Balia adalah salah satu sistem kepercayaan etnis Kaili yang masih terpelihara, membentuk sebuah nilai, norma, etika, tatanan sosial orang Kaili di Sulawesi Tengah yang hingga kini belum ada satu pihak pun menolak keberadaannya. Terlepas dari ajaran Islam sebagai agama yang dianut oleh mayoritas etnis Kaili, Balia memiliki nilai seni yang tinggi sebagai salah satu local genius ( kearifan lokal ), wujud dari sebuah kebudayaan yang telah diakui oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai culture icon ( ikon budaya ).
Apresiasi dan penghargaan, itulah yang sangat diharapkan terhadap ke - Bhinneka - an kebudayaan negeri ini. Menjaga, merawat, memelihara dan melestarikan kebudayaan sebagai perekat pemersatu bangsa, tentunya menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama sebagai pemilik kebudayaan tersebut. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya.
B.Upacara
Masa Kanak-kanak pada Suku Kaili (Nosuna / khitan)
Upacara ini sudah menjadi adat dan
tradisi di kalangan masyarakat Kaili sejak masuknya Islam hingga dewasa ini,
secara turun temurun. Upacara nosuna (khitan) dilaksanakan pada anak laki-laki
dan perempuan. Namun pada bahagian ini hanya diuraikan khusus pada upacara
nosuna bagi anak laki-laki yang dilakukan menjelang anak berumur sekitar 7
sampai 8 tahun, yaitu pada anak-anak yang belum memasuki puber atau balig
(nabalego).
Maksud dan Tujuan Upacara
Upacara ini dilaksanakan karena
mempunyai maksud dan tujuan tertentu menurut adat dan kepercayaan masyarakat
setempat, yaitu :
Mentaati perintah agama (sunah Nabi)
yang disebut Noinpataati Parenta Nabita (mengikuti perintah Nabi Muhammad SAW).
Nompakavoe koro (mensucikan diri) .
Nompataati ada (mematuhi adat
kebiasaan masyarakat agar sang anak tersebut (yang disunat) terlepas dari dosa,
di samping anak itu terhindar dari berbagai penyakit (perkembangan yang tidak
normal baik psikhis maupun phisik).
Waktu Penyelenggaraan Upacara
Upacara ini memerlukan
persiapan-persiapan yang cukup selain bahan yang dibutuhkan untuk upacara juga
menentukan pula adanya kesiapan waktu yang baik untuk diselenggarakannya
upacara ini, karena soal waktu adalah faktor menentukan suksesnya kelangsungan
hidup anak yang disunat; keadaan waktu yang tidak baik merupakan pantangan
timbulnya suatu kecelakaan pada diri sang anak. Menurut kepercayaan adat
setempat bahwa pelaksanaan upacara ini hendaknya jatuh pada bulan ke 1, 4, 7,
10, 13, 16, 19, 22, 25, serta ke 28 bulan di langit (Nopalakia) telapak tangan,
yakni diawali dari telapak tangan bagian dalam, jari kelingking, jari manis,
jari tengah kemudian jari telunjuk lalu ibu jari. Setiap bulan yang jatuh pada
bagian dalam telapak tangan dan jatuh pada jari tengah bagian dalam akan
mempunyai arti yang baik, serta mendapatkan keselamatan, rezeki bagi anak dan
semua keluarganya.
Adapun hari-hari yang baik dalam
melaksanakan upacara ini menurut palakia (buku perhitungan bulan), yaitu
hendaknya jatuh pada hari Senin, Minggu, dan hari Jum'at yang sedianya
dilaksanakan pada siang hari jam 2 sampai jam 4, dengan alasan bahwa pada saat
itu merupakan waktu yang menguntungkan untuk menuju keselamatan.
DAFTAR PUSTAKA
- http://nagaya.net16.net – Situs Nagaya Powered by Mambo Generated:6 April, 2011, 02:
- http://melayuonline.com/ind/culture/dig/1891/novero
- http://hiburan.kompasiana.com/buku/2010/04/12/buku-orang-kaili-gelisan-kata-pengantar-dari-penulis/
- http://www.anneahira.com/suku-kaili-7441.htm
- http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Kaili
- http://isramrasal.wordpress.com/2009/10/23/mengenal-lebih-dekat-upacara persemayaman-jenazah-suku-kaili-di-sulawesi-tengah/
- http://3snanaru.multiply.com/journal/item/9
- Justus M. van der Kroef (1951). “The Term Indonesia: Its Origin and Usage”. Journal of the American Oriental Society
- Kristanto, Budi. 2002. Suku Bangsa Kaili Dari Sejarah Hingga Budayanya. BKSNT Manado.
- Koran – Sulteng.blogspot.com/2009/12/kenalkan-kalkula-alat-musik-etnik-suku.html
- Epuilibrian.blogspot.com
- Mika-punya.blogspot.com
- Kaililand.blogspot.com
- http://Google.coM
- http://dikadwijaya.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment
Tanggapan