Bawang merah (Allium ascalonicum L)
Pembangunan pertanian diharapkan tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan sektor-sektor lain agar dapat memperbaiki keadaan perekonomian masyarakat. Pembangunan pertanian sub sektor tanaman pangan khususnya komoditas hortikultura harus dapat tumbuh dengan cepat, agar secara fungsional akan semakin mampu berperan dalam penyediaan bahan baku industri, peningkatan pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja serta peningkatan penerimaan devisa melalui ekspor hasil-hasil tanaman hortikultura. salah satu komoditi andalan Sulawesi Tengah adalah Bawang Merah Palu (bahan baku bawang goreng).
Bawang merah (Allium ascalonicum L) adalah salah satu komoditas hortikultura, biasa digunakan sebagai penyedap masakan, bahan baku industri makanan, obat-obatan dan disukai karena aroma dan rasanya yang khas. Selain itu bawang merah merupakan sumber vitamin B, C, kalium, fosfor dan mineral.
Di Indonesia sentra-sentra produksi bawang merah umumnya berasall dari dataran tinggi antara lain Brebes, Tegal Jawa Tengah dan Probolinggo Jawa Timur. Namun demikian tanaman bawang merah juga telah banyak diusahakan di dataran rendah.
Menurut Limbongan et al., (2001), Usahatani bawang merah Palu sudah dimulai sejak puluhan tahun yang lalu terutama disekitar Lembah Palu. Tinombo, Gontarano dan beberapa daerah lain di Kabupaten Donggala. Bawang merah banyak diusahakan oleh petani di Lembah Palu, mengingat Lembah Palu merupakan suatu kawasan dataran rendah yang beriklim kering dan curah hujan kurang dari 500 mm/th sehingga kondisi tersebut sangat cocok bagi pertumbuhan tanaman bawang merah. Menurut Biro Pusat Statistik Sulawesi Tengah (2000), luas areal pertanaman bawang merah di Sulawesi Tengah mencapai 681 ha dengan produksi 10.545 ton dengan produktivitas rata-rata 15,485 kw/ha.
Setelah dipanen bawang merah tidak dapat dibiarkan begitu saja, sehigga perlu penanganan khusus karena jika tidak, bawang merah mudah rusak dan sulit dipertahankan dalam bentuk segar karena lama kelamaan akan mengalami perubahan-perubahan akibat proses fisiologi, biologi, fisikokimia dan mikrobiologi. Apabila penanganan kurang baik akan terjadii kebusukan atau bahkan tumbuh di tempat penyimpanan. Untuk itu perlu upaya penanganan pasca panen yang baik untuk memperpanjang masa simpan dan meningkatkan nilai ekonomi bawang merah tersebut seperti dibuat bawang goreng karena bawang merah Palu sangat cocok digunakan sebagai bawang goreng dan meiliki daya simpan yang cukup lama yaitu 7-12 bulan. Pembuatan bawang goreng di tingkat rumah tangga (home industry) diharapkan dapat meningkatkan nilai ekonomi dan pendapatan petani untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Potensi dan Penerapan Teknologi
1. Potensi
Bawang goreng adalah produk komoditas hortikultura yang biasa digunakan sebagai bahan penyedap masakan, obat-obatan serta secara ekonomis berpeluang untuk dikembangkan secara luas. Tanaman bawang merah Palu cocok digunakan sebagai bawang goreng karena memiliki aroma dan rasa yang khas dan tetap kering/renyah walaupun disimpan lama. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Tengah (2000) luas areal pertanaman mencapai 681 ha dengan produktivitas rata-rata 1,5 ton/ha. Produktivitas tersebut masih tergolong rendah karena tanaman bawang merah yang terpelihara dengan baik produktivitasnya dapat mencapai 4 ton/ha. Dengan umur tanaman di lapangan yang hanya sekitar 70 hari, maka dalam satu tahun berpeluang untuk panen 3-4 kali, sehingga dalam satu tahun akan diproduksi kurang lebih 3000 ton bawang segar.
2. Penerapan Teknologi
Menurut Maskar, et al., (2001) produktivitas bawang merah di Lembah Palu relatif rendah, hal ini disebabkan karena penerapan teknologi budidaya seperti jarak tanam dan pemupukan belum diterapkan secara intensif. Hasil rata-rata yang diperoleh dari uasahatani bawang merah di daerah ini mencapai 3 ton per ha (Limbongan dan Monde, 1999), sedangkan potensi bawang merah lokal mencapai 4,7 – 7,6 ton per ha. Pada umumnya petani melakukan pemupukan belum sesuai anjuran karena masih ada anggapan petani bahwa tanaman yang tumbuh subur akan menghasilkan umbi yang relatif sedikit (kecil-kecil). Untuk mencapai produktivitas yang tinggi diperlukan suatu rakitan teknologi yang tepat guna sehingga mampu meningkatkan pendapatan petani dan ketersediaan bahan baku industri secara berkesinambungan. Teknologi yang harus diterapkan adalah teknologi budidaya yang intensif serta teknologi pasca panen khususnya pada proses pengolahan yang lebih mengarah pada bawang goreng yang berkualitas agar memiliki keseragaman mutu dan terhindar dari rancidity (ketengikan karena kandungan minyak/lemak yang tinggi).
Panen dan Pasca Panen
Untuk mendapatkan bawang goreng yang berkualitas tidak terlepas dari perlakuan saat panen. Penentuan umur panen sangat penting untuk mendapatkan bawang yang berkualitas dan kuantitas hasil yang baik. Apabila tanaman dipanen terlalu muda akan diperoleh umbi berukuran kecil dan mudah keriput. Untuk mendapatkan hasil yang optimal sebaiknya dipanen pada saat masak fisiologis, dengan ciri-ciri batang lemas, umur tanaman 65-70 hari. Panen dilakukan dengan cara mencabut tanaman kemudian diikat dengan tali bambu, ikatan dijemur setelah kering digantung di tempat yang kering.
Daya simpan umbi segar tidak tahan lama oleh karena itu perlu suatu upaya pemanfaatan umbi segar, misalnya sebagai bahan baku bawang goreng yang memiliki daya simpan yang cukup lama.
Peluang Pengembangan Agribisnis Bawang Goreng
Agribisnis berkaitan erat dengan pembangunan pertanian, karena dengan pertanian yang tangguh dapat mendukung sektor industri modern. Pengembangan agribisnis di pedesaan merupakan basis pertumbuhan ekonomi pedesaan melalui peningkatan nilai tambah produk pertanian. Selain itu agribisnis merupakan kegiatan pasca panen yang bertujuan untuk menyelamatkan produk pertanian agar tidak terlantar yang lama kelamaan akan menjadi limbah (Bachman, 1981). Agribisnis akan terjaga kesinambungan usahanya apabila input (bahan baku yang berasal dari petani) terjamin mutu dan kontinuitasnya. Agribisnis bawang merah memberikan harapan yang baik untuk: (1) peningkatan pendapatan petani; (2) bahan ekspor; (3) dapat menambah devisa negara (income daerah).
Pengembangan pengolahan bawang merah dapat dilakukan dengan mengolah umbi segar melalui penggorengan. Pembuatan bawang goreng merupakan salah satu alternatif untuk menyimpan lebih lama jika dibandingkan dalam bentuk segar, karena bawang merah dalam bentuk segar mempunyai kadar air yang tinggi yaitu 83%-86% sehingga menyebabkan bawang merah mudah rusak dan tidak tahan lama disimpan. Pembuatan bawang goreng ini dapat dilakukan dalam skala kecil yaitu industri rumah tangga. Pengolahan bawang goreng pada skala rumah tangga di Sulawesi Tengah khususnya Lembah Palu memiliki peluang pasar yang cukup menjanjikan. Hal ini terlihat dari beberapa pengusaha bawang goreng Palu (hasil survey) telah memasarkan bawang gorengnya ke Makassar, Kalimantan, Jawa bahkan sampai ke luar negeri (Malaysia dan Singapura). Namun ada beberapa permasalahan yang dihadapi baik di tingkat petani pembudidaya maupun di tingkat pengusaha itu sendiri.
Permasalahan pada Agribisnis Bawang Goreng
Di tingkat petani ada beberapa permasalahan yang tidak menunjang kelancaran usaha bawang goreng yaitu: (1) modal petani terbatas; (2) teknologi pemupukan tidak sesuai anjuran; (3) produktivitas relatif rendah menyebabkan ketersediaan bahan baku yang tidak kontinyu. Sedangkan di tingkat pengusaha adalah: (1) teknologi pembuatan bawang goreng masih sederhana; (2) produksi tidak kontinyu karena terbatasnya bahan baku; (3) teknik pengemasan masih sederhana.
Analisis Usahatani Bawang Goreng
Pendapatan usahatani adalah suatu alat ukur yang menggambarkan kinerja suatu usahatani berdasarkan pada manfaat dari hasil usahatani. Perhitungan pendapatan usahatani yang disajikan pada Tabel 1 memperlihatkan selisih antara jumlah permintaan (nilai produksi) dengan biaya yang dikeluarkan. Dalam perhitungan seluruh tenaga kerja dialokasikan dihitung sebagai biaya ditambah dengan penggunaan berbagai sarana yang lain. Analisis usahatani bawang goreng ditunjukkan pada Tabel 1.
KESIMPULAN
1. Agribisnis bawang goreng khususnya di Sulawesi Tengah perlu terus dikembangkan, mengingat permintaan pasar yang semakin besar sehingga perlu ketersediaan bahan baku yang berkualitas.
2. Proses pengolahan bawang goreng masih sederhana, hal ini menyebabkan kualitas bawang goreng belum memiliki keseragaman mutu.
3. Teknik pengemasan perlu dilakukan dengan baik agar memiliki daya simpan yang lama sehingga aman dalam pengiriman.
0 comments:
Post a Comment
Tanggapan