Test Footer

LightBlog

Friday, August 31, 2012

Tenun Donggala

Tenun Donggala



Banyak tokoh nasional hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah mengenakan kemeja terbuat kain tenun Donggala saat berkunjung ke Sulawesi Tengah.
Itu membuktikan bahwa kain tradisional dari Kabupaten Donggala itu telah dikenal secara nasional meski namanya tidak seharum batik yang telah ditetapkan menjadi kain busana nasional.
Ketua Umum Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Ny Herawati Boediono saat berkunjung ke Kota Palu, Ibu Kota Sulawesi Tengah, April 2010, juga memuji keindahan kain tenun Donggala.
Ny Herawati Boediono saat melihat proses pembuatan tenun Donggala mengaku prosesnya terbilang rumit.
Ia berharap kain tenun Donggala dapat dijaga keberadaannya sebagai salah satu simbol kebudayaan Sulawesi Tengah.
Kain tenun Donggala telah ada sejak ratusan tahun silam. Kain yang dibuat dari mesin tenun sederhana itu memiliki motif beragam, antara lain motif bunga mawar, bunga anyelir, buya bomba subi kumbaja, bunga subi, kombinasi bunga subi dan bomba, buya bomba, dan buya subi kumbaja.





Nursalim, seorang pengrajin tenun asal Desa Watusampu, Kabupaten Donggala, mengatakan dahulu, kain atau sarung Donggala hanya boleh dikenakan pada acara perkawinan, sunatan dan upacara-upacara adat.
Bahkan, pada motif-motif tertentu seperti palaekat hanya boleh dikenakan raja atau kaum bangsawan.
Seiring perkembangan zaman, kain tenun Donggala banyak dimiliki oleh masyarakat umum dalam berbagai kesempatan resmi.
Untuk melestarikan kain tradisional ini, Pemerintah Kabupaten Donggala telah memiliki hak paten kain tenun Donggala.
Bahkan para pegawai negeri sipil (PNS) di kabupaten tertua di Sulawesi Tengah itu juga diwajibkan memakai tenun Donggala setiap akhir pekan.
Sejumlah tempat di kabupaten Donggala menjadi pusat pengrajin kain tersebut, seperti Desa Towale dan Watusampu di Kecamatan Banawa yang berjarak 40 kilometer dari Kota Palu.
Di pusat pengrajin itu terdapat ibu-ibu rumah tangga sedang menenun kain dengan alat tenun bukan mesin (ATBM) terbuat dari kayu berukuran 2 x 1 meter.
ATBM itu dipenuhi dengan lilitan benang aneka warba. Cara menggerakkannya pun dilakukan dengan kaki yang menginjak pedal-pedal dari kayu, layaknya sedang mengayuh pedal mesin jahit.
Alat itu juga menggunakan sisir besi yang ada sejak turun-temurun.
Selain kain tenun Donggala, para penenun juga menghasilkan sarung Donggala dengan panjang dua meter dan lebar 60 centimeter.
Rata-rata para pengrajin itu membuat kain tenun dengan panjang mencapai empat meter.
Di Kota Palu juga terdapat pengrajin kain tenun Donggala yang sebagian besar berada di Jalan Mangga, Kecamatan Palu Barat.
Hadi, pedagang kain tenun Donggala, di Kota Palu mengatakan masyarakat minat masyarakat bertambah karena coraknya yang makin beragam.
“Kami berupaya selalu membuat motif tenun yang beragam sehingga konsumen terus menyukainya,” kata Hadi yang juga memiliki toko di Jalan Mangga.
Hadi yang juga pembuat kain tradisional ini mengatakan corak kain tenun Donggala sebelumnya kurang beragam sehingga kurang mendapat tempat di hati calon konsumen.
Menurutnya, kain tenun Donggala harus dilestarikan agar tetap ada dan dibanggakan oleh masyarakat Sulawesi Tengah.
“Meski banyak motif modern yang penting tidak meninggalkan kesan tradisionalnya,” kata Hadi yang mendapat ilmu membuat kain tenun Donggala dari kedua orangtuanya.
Ia menyebutkan harga kain tenun Donggala beragam, mulai Rp300.000,00 hingga Rp700.000,00 tergantung tingkat kesulitan pembuatannya.
Satu lembar kain Donggala bisa dibuat selama satu bulan. Jika motifnya sulit, bisa membutuhkan pengerjaan selama hingga dua bulan.
Hadi sendiri mengaku sudah menjadi pengrajin kain tenun Donggala sejak 1982. Dia meneruskan usaha orangtuanya.
Hadi mengaku, kainnya terjual sebanyak enam hingga delapan lembar per bulan kepada pembeli yang biasanya berasal dari luar kota.
Kain tenun Donggala sering dipamerkan dalam ajang promosi baik di kota-kota besar di Indonesia hingga ke luar negeri.
Pemerintah Sulawesi Tengah sendiri menjadikan kain tenun Donggala sebagai salah satu suvenir wajib untuk tamu pemerintahan, seperti menteri, gubernur hingga Presiden SBY pernah mendapat hadiah kain tenun Donggala.
Khas Sulawesi Tengah
Di Sulawesi Tengah sendiri terdapat sejumlah kain tradisional yang juga menjadi warisan budaya dan bisa menjadi cindera mata istimewa.
Kain tradisonal itu, antara lain batik bomba, kain kulit kayu, dan kain adat Mbesa yang terbuat dari serat buah nanas.
Batik Bomba adalah kain khas Kota Palu. Batik ini memiliki beragam motif. Motif paling banyak disenangi konsumen adalah bunga cengkeh dan sambulugana.
Sementara kain kulit kayu berasal dari Kabupaten Sigi itu terbuat dari kulit pohon Beringin (ficus benjamina) dan pohon Malo (ficus sp).
Kulit kayu sepanjang sekitar 1,5 meter dan lebar 10 centimeter itu dipukul-pukul dengan alat pemukul yang dalam bahasa setempat disebut batu ike secara merata di atas papan kayu.
Setelah mencapai lebar yang diinginkan, kain tersebut dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. “Kalau kena sinar matahari langsung, maka akan cepat rusak,” kata Farida, pengrajin kain kulit kayu asal Desa Pandere, Kabupaten Sigi.
Kain kulit kayu biasanya dibuat baju lengan pendek, celana pendek, serta penutup kepala.
Pakaian kulit kayu itu pada umumnya berwarna coklat, sesuai aslinya, dan tidak bermotif. Sebagian lainnya berwarna hitam karena direndam lumpur hitam selama beberapa hari.
Farida mengatakan, kain kulit kayu 2×1 meter dihargai Rp200 ribu, sedangkan pakaian yang sudah jadi dihargai Rp100 ribu.
Kain itu tidak diperuntukkan untuk busana sehari-hari, hanya untuk upacara adat dan menyambut tamu.
Selanjutnya, kain Mbesa yang terbuat dari serat buah nanas. Kain ini biasanya bermotif orang-orangan dan tumpal.
Kain yang berasal dari Kecamatan Kulawi, Kabupaten Sigi, ini dieruntukkan acara adat seperti upacara tanggal gigi dan upacara menyambut kelahiran anak.
Dari beragam kain tradisional itu, kain tenun seolah menjadi primadona bagi para pencari oleh-oleh dari Sulawesi Tengah.
Pemerintah Sulawesi Tengah sendiri terus berupaya untuk meningkatkan pengenalan dan pemasaran kain tenun Donggala di tengah gempuran batik yang tidak pernah surut.
Bahkan kain batik sangat mudah ditemui di pelosok-pelosok daerah di provinsi ini, harganya pun lebih murah. Selembar kain tenun Donggala bisa untuk membeli 10 lembar kain batik.
Ini harus dipikirkan pemerintah setempat jika kain tenun Donggala ingin dikenal secara nasional atau internasional, seperti batik. Selamat Hari batik nasional. (Oleh Riski Maruto, www.kompas.com) – Foto: www.detik.travel

0 comments:

Post a Comment

Tanggapan