Test Footer

LightBlog

Saturday, May 13, 2017

Hukum Adat Kaili

Hukum Adat Kaili

Manusia dan kebudayaanya merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, sebab kebudayaan merupakan implementasi dari segenap aktivitas manusia dalam menciptakan sesuatu. Baik itu dalam wujud kebudayaan maupun dalam bentuk tingkahlaku, yang diwarisi secara turun temurun kepada setiap generasinya sebagai suatu tatanan sosial  budaya yang harus ditaati sebagai bagian dari warisan leluhur, sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan, oleh masyarakat pendukungnya. Lewat Media Kaili ini semoga masyarakat luas di Kota Palu bisa  mengambil pembelajaran serta bisa menerapkannya kembali dalam kehidupan sehari-hari kita.

Inventarisasi dan Kajian Hukum dan Sanksi Adat Suku Kaili di Kota Palu belum banyak dilakukan dan belum terdokumentasikan dengan baik.  Inventarisasi dan Kajian ini  mengungkapkan hukum  berdasarkan sejarah masa silam, sebagian besar masyarakatnya belum mengenal tulisan namun kepatuhan atas hukum yang berlaku sangat dijunjung tinggi demi menjaga ketentraman hidup dan kesejahteraan bersama. Hukum dan Sanksi Adat di tanah Kaili berlaku sebelum adanya agama masuk di lembah Palu dan juga adanya penjajahan bangsa asing. Hal ini merupakan bagian dari proses kebudaayaan yang menjadi anutan masyarakat Kaili, yang memegang teguh adat istiadatnya.

Hukum dan sanksi Adat aplikasinya berorientasi pada ketetapan Givu bagi masyarakat Kaili yang berdominsili di lembah Palu. Bila ditelusuri dari aspek budaya dan kearifan lokal ternyata hukum dan sanksi adat memiliki nilai-nilai luhur dan tetap dijunjung tinggi serta ditaati. Namun di era modern sekarang ini sebagian besar orang sudah melupakannya dan bahkan dianggap sebagai pamali (pantangan) dalam kesehariannya. Akan tetapi hukum dan sanksi adat masih tetap dipedomani untuk menjaga pengaruh negatif modernisasi dalam merusak tatanan kehidupan.

Untuk menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan PenciptaNya, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan lingkungannya, maka setiap orang di dalam kelompok masyarakat Kaili selalu mengembangkan berbagai macam tata nilai dan etika baik dalam bentuk pergaulan, perilaku, tuturkata dan tindakan senantiasa selalu dalam kesepakatan adat.


Tujuan Diberlakukannya Sanksi Adat

Sanksi adat diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar adat termasuk dari golongan bangsawan (madika) sampai masyarakat biasa. Demi menjujunjung  penegakan hukum nilai adat yang dikandung, seluruh warga masyarakat yang berada dalam 5  wilayah keadatan memperoleh hukum atau sanksi yang sama walaupun suku, pangkat, dan golongan berbeda. Dengan menggunakan falsafah: ”dimana bumi dipijak disitu langit didunjunjung”, makna strategisnya kata berpijak adalah mentaati hukum adat yang berlaku pada suatu wilayah. Tujuannya adalah untuk memberikan penanaman nilai budi pekerti, yang gunannya melindungi seluruh warga dari perbuatan sewenang-wenang dan tindakan yang tidak terpuji. Manfaatnya menciptakan perdamaian dan kedamaian menuju suatu kehidupan yang bernilai budaya. Sehingga bila dimaknai secara seksama hukum adat dapat memanusiakan manusia.

Ada yang menduga, bahwa penetapan hukum dan Sanksi Adat terkesan berat bahkan tidak manusiawi, padahal  tujuannya semata-mata mengurangi jumlah kejahatan dan pelanggaran yang dipermainkan oleh orang-orang yang merasa dirinya kuat. Makna strategi diberlakukannya  Hukun dan Sanksi Adat Kaili di Kota Palu, memberi kedamaian dan ketentraman masyarakat agar terhindari dari berbagai kesewenang-wenangan, baik berwujud isu-isu konflik maupun tindakan-tindakan menzalimi hak-hak pribadi maupun kelompok dari masyarakat itu sendiri.  


Contoh

“RAPATESI SANJAMBOKO-RALABU RITASI” yang artinya dilenyapkan dari muka bumi dengan cara dibunuh atau ditenggelamkan dalam laut berdua, agar supaya Negeri tetap dalam keadaan aman dan mempunyai kehormatan, karena diatasnya tidak terdapat salah satu kuburan atau pekuburan dari manusia yang berwujud hewan.Keputusan ini diterima baik dan mendapat dukungan sepernuhnya dari seluruh rakyat termasuk kaum keluarga pesakitan kedua belah pihak turut merasa puas”.


Bentuk-bentuk Pelanggaran dan Sanksi Adat

Pada dasarnya suatu suku bangsa, baik suku-suku bangsa yang terpencil hidup di pedalaman, pegunungan, di lembah maupun pesisir pantai meyakini setiap kesalahan dan pelanggaran harus ada ganjaran/hukuman/sanksinya. Oleh karena itu maka suku Kaili Topo Ledo/Rai/Tara/Doi/Unde menetapkan ada mpegivu (sanksi/hukuman) sebagai berikut : Sala Kana (sikap) , Sala Baba/Sala Mpale (perilaku), Sala Mbivi (bicara).

1. Sala Kana (salah sikap)
Vaya sala kana adalah salah satu jenis hukuman yang diberikan/dikenakan kepada seseorang yang melanggar nilai-nilai Adat yang berhubungan dengan perbuatan, tindakan, ucapan dan perilaku dalam kategori nakaputu tambolo dan bangu mate (sanksi berat), berupa:

1. Berzinah (Nosimpogau) atas dasar kehendak bersama dan atau memperkosa adalah adanya        unsur pemaksaan dari pihak laki-laki.
2. Konflik perkelahian dan pembunuhan.
3. Menghina.

Jenis Perbuatan :

A. Vaya Mbaso Nakaputu Tambolo (Hukuman Berat) :

1. Vaya Nosimpogau (Hukuman untuk Berzina) antara bapak dan anak kandung atau ibu dan      anak kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup (dibakar atau dikucilkan seumur hidup oleh Masyarakat)

2. Vaya berzina antara kakak dengan adik kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

3. Vaya berzina antara mertua dengan menantu dan nenek dengan cucu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

4. Vaya berzina antara bibi (tante) atau paman saudara kandung dari bapak atau ibu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

5. Vaya berzina antara ipar dari saudara kandung dengan suami atau istri, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

6. Vaya berzina dengan permaisuri atau putri Raja (Magau/Madika), niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup

B. Vaya Mbaso Bangu Mate (Hukuman mati):

1. Nobualo adalah perzinahan seorang perempuan yang mempunyai suami yang sah dengan seorang lelaki lain (atas keinginan/godaan perempuan). Givuna (hukuman) dikenakan pada perempuan berupa (bualo), terdiri dari Nebualosi  Bualo Kana (pelaku diketahui) dan Bualo Lombe (atau nisiri yaitu masih dalam kecurigaan siapa pelakunya). Atau perzinahan seorang laki-laki yang mempunyai isteri yang sah dengan seorang perempuan  mempunyai suami yang sah dikenakan sanksi vayana /Givuna  :

a. Santina Bengga/sampomava bengga dalam bahasa Indonesia dua ekor Kerbau,

b. Sanggayu gandisi (Raposompora Radua) versi ledo dalam bahasa Indonesia kain dari kulit kayu,

c. Samata Guma (rapo sambale tambolona/tambolora Radua) artinya dalam bahasa Indonesia sebilah parang jenis guma untuk menggorok leher pasangan yang melakukan perzinahan,

d. Santonga dula (rapotande balenggana /balengara randua) yang artiya dalam bahasa Indonesia sepasang dulang tempat untuk menyimpan kepala,

e. Santonga tubu mputi (posonggo raana /raara randua) sepasang mangkok putih untuk tempat penyuguhan darah pelaku perzinahan yang disembelih,

f. Sudakana  (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99).

g. Pu’u dengan hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah berupa suraya (piring) jika lebih dari 10 mpu’u dilengkapi dengan suraya Mposanga seperti Pinekaso, Tava Kelo dalam pelaksanaan libu dewan adat, jika hal tersebut tidak ada, memungkinkan notovali (Nosambei) dengan piring biasa.

h. Dalam versi Rai pelaku pelanggaran bagi perempuan disebut Nopangadi.

i. Versi unde ditambah dengan 140 suraya tambah 15 ekor Kebe (aqiqa: mengeluarkan 1 ekor kambing) semuanya dibagi 2 laki-laki dan perempuan.       

Givuna (Hukuman) di kenakan pada Laki-laki (nebualosi) :

a. Sampomava Bengga ( satu ekor kerbau), dalam pendekatan Kaili Tara apabila penyebutan hanya kata “Bengga” maka boleh digantikan dengan 5 Ekor Kambi/Tovaou Mporesi (kambing hutan), apabila penyebutan Bengga Navuri Buluna (Kerbau hitam bulunya) adalah dikenakan kerbau sebenarnya.

b. Santonga dula (rapotande balenggana), Versi Kaili Tara dikenakan Dula Lena biasa.

c. Santonga tubu mputi (posonggo raana), versi Kaili Tara dikenakan Tubu Posanga seperti Tubu Mata Bengga  dan boleh berbentuk tubu biasa.

d. Sudakana  (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99). Pada masa kini disesuaikan dengan nilai mata uang   Rupiah.

Catatan : Givu harus dibayar kepada perbendaharaan Negeri (Polisa Nuada:Rai, Sompo Nuada:Ledo) dalam waktu yang ditetapkan oleh pengadilan adat dan apabila Givu tersebut tidak dibayar pada waktunya maka keduanya akan dihukum mati (nilabu) atau Nipanaa (mengingatkan kembali kepada pengadilan adat dengan sanksi Nibeko yaitu dikucilkan dari masyarakat).
(Sumber : Balitbangda Propinsi Sulawesi Tengah)

0 comments:

Post a Comment

Tanggapan