Hukum Adat Kaili
Manusia dan kebudayaanya merupakan suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, sebab kebudayaan merupakan
implementasi dari segenap aktivitas manusia dalam menciptakan sesuatu.
Baik itu dalam wujud kebudayaan maupun dalam bentuk tingkahlaku, yang
diwarisi secara turun temurun kepada setiap generasinya sebagai suatu
tatanan sosial budaya yang harus ditaati sebagai bagian dari warisan
leluhur, sehingga perlu dipertahankan dan dilestarikan, oleh masyarakat
pendukungnya. Lewat Media Kaili ini semoga masyarakat luas di Kota Palu
bisa mengambil pembelajaran serta bisa menerapkannya kembali dalam
kehidupan sehari-hari kita.
Inventarisasi dan Kajian Hukum dan
Sanksi Adat Suku Kaili di Kota Palu belum banyak dilakukan dan belum
terdokumentasikan dengan baik. Inventarisasi dan Kajian ini
mengungkapkan hukum berdasarkan sejarah masa silam, sebagian besar
masyarakatnya belum mengenal tulisan namun kepatuhan atas hukum yang
berlaku sangat dijunjung tinggi demi menjaga ketentraman hidup dan
kesejahteraan bersama. Hukum dan Sanksi Adat di tanah Kaili berlaku
sebelum adanya agama masuk di lembah Palu dan juga adanya penjajahan
bangsa asing. Hal ini merupakan bagian dari proses kebudaayaan yang
menjadi anutan masyarakat Kaili, yang memegang teguh adat istiadatnya.
Hukum
dan sanksi Adat aplikasinya berorientasi pada ketetapan Givu bagi
masyarakat Kaili yang berdominsili di lembah Palu. Bila ditelusuri dari
aspek budaya dan kearifan lokal ternyata hukum dan sanksi adat memiliki
nilai-nilai luhur dan tetap dijunjung tinggi serta ditaati. Namun di era
modern sekarang ini sebagian besar orang sudah melupakannya dan bahkan
dianggap sebagai pamali (pantangan) dalam kesehariannya. Akan tetapi
hukum dan sanksi adat masih tetap dipedomani untuk menjaga pengaruh
negatif modernisasi dalam merusak tatanan kehidupan.
Untuk
menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan PenciptaNya, hubungan
manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan
manusia dengan lingkungannya, maka setiap orang di dalam kelompok
masyarakat Kaili selalu mengembangkan berbagai macam tata nilai dan
etika baik dalam bentuk pergaulan, perilaku, tuturkata dan tindakan
senantiasa selalu dalam kesepakatan adat.
Tujuan Diberlakukannya Sanksi Adat
Sanksi
adat diberlakukan bagi siapa saja yang melanggar adat termasuk dari
golongan bangsawan (madika) sampai masyarakat biasa. Demi menjujunjung
penegakan hukum nilai adat yang dikandung, seluruh warga masyarakat yang
berada dalam 5 wilayah keadatan memperoleh hukum atau sanksi yang sama
walaupun suku, pangkat, dan golongan berbeda. Dengan menggunakan
falsafah: ”dimana bumi dipijak disitu langit didunjunjung”, makna
strategisnya kata berpijak adalah mentaati hukum adat yang berlaku pada
suatu wilayah. Tujuannya adalah untuk memberikan penanaman nilai budi
pekerti, yang gunannya melindungi seluruh warga dari perbuatan
sewenang-wenang dan tindakan yang tidak terpuji. Manfaatnya menciptakan
perdamaian dan kedamaian menuju suatu kehidupan yang bernilai budaya.
Sehingga bila dimaknai secara seksama hukum adat dapat memanusiakan
manusia.
Ada yang menduga, bahwa penetapan hukum dan Sanksi Adat
terkesan berat bahkan tidak manusiawi, padahal tujuannya semata-mata
mengurangi jumlah kejahatan dan pelanggaran yang dipermainkan oleh
orang-orang yang merasa dirinya kuat. Makna strategi diberlakukannya
Hukun dan Sanksi Adat Kaili di Kota Palu, memberi kedamaian dan
ketentraman masyarakat agar terhindari dari berbagai
kesewenang-wenangan, baik berwujud isu-isu konflik maupun
tindakan-tindakan menzalimi hak-hak pribadi maupun kelompok dari
masyarakat itu sendiri.
Contoh
“RAPATESI
SANJAMBOKO-RALABU RITASI” yang artinya dilenyapkan dari muka bumi
dengan cara dibunuh atau ditenggelamkan dalam laut berdua, agar supaya
Negeri tetap dalam keadaan aman dan mempunyai kehormatan, karena
diatasnya tidak terdapat salah satu kuburan atau pekuburan dari manusia
yang berwujud hewan.Keputusan ini diterima baik dan mendapat dukungan
sepernuhnya dari seluruh rakyat termasuk kaum keluarga pesakitan kedua
belah pihak turut merasa puas”.
Bentuk-bentuk Pelanggaran dan Sanksi Adat
Pada
dasarnya suatu suku bangsa, baik suku-suku bangsa yang terpencil hidup
di pedalaman, pegunungan, di lembah maupun pesisir pantai meyakini
setiap kesalahan dan pelanggaran harus ada ganjaran/hukuman/sanksinya.
Oleh karena itu maka suku Kaili Topo Ledo/Rai/Tara/Doi/Unde menetapkan
ada mpegivu (sanksi/hukuman) sebagai berikut : Sala Kana (sikap) , Sala
Baba/Sala Mpale (perilaku), Sala Mbivi (bicara).
1. Sala Kana (salah sikap)
Vaya
sala kana adalah salah satu jenis hukuman yang diberikan/dikenakan
kepada seseorang yang melanggar nilai-nilai Adat yang berhubungan dengan
perbuatan, tindakan, ucapan dan perilaku dalam kategori nakaputu
tambolo dan bangu mate (sanksi berat), berupa:
1. Berzinah
(Nosimpogau) atas dasar kehendak bersama dan atau memperkosa adalah
adanya unsur pemaksaan dari pihak laki-laki.
2. Konflik perkelahian dan pembunuhan.
3. Menghina.
Jenis Perbuatan :
A. Vaya Mbaso Nakaputu Tambolo (Hukuman Berat) :
1.
Vaya Nosimpogau (Hukuman untuk Berzina) antara bapak dan anak kandung
atau ibu dan anak kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu
atau nipali seumur hidup (dibakar atau dikucilkan seumur hidup oleh
Masyarakat)
2. Vaya berzina antara kakak dengan adik kandungnya, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
3. Vaya berzina antara mertua dengan menantu dan nenek dengan cucu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
4.
Vaya berzina antara bibi (tante) atau paman saudara kandung dari bapak
atau ibu, niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
5.
Vaya berzina antara ipar dari saudara kandung dengan suami atau istri,
niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
6. Vaya berzina dengan permaisuri atau putri Raja (Magau/Madika), niGivu (dikenakan sanksi) : Nilabu atau nipali seumur hidup
B. Vaya Mbaso Bangu Mate (Hukuman mati):
1.
Nobualo adalah perzinahan seorang perempuan yang mempunyai suami yang
sah dengan seorang lelaki lain (atas keinginan/godaan perempuan). Givuna
(hukuman) dikenakan pada perempuan berupa (bualo), terdiri dari
Nebualosi Bualo Kana (pelaku diketahui) dan Bualo Lombe (atau nisiri
yaitu masih dalam kecurigaan siapa pelakunya). Atau perzinahan seorang
laki-laki yang mempunyai isteri yang sah dengan seorang perempuan
mempunyai suami yang sah dikenakan sanksi vayana /Givuna :
a. Santina Bengga/sampomava bengga dalam bahasa Indonesia dua ekor Kerbau,
b. Sanggayu gandisi (Raposompora Radua) versi ledo dalam bahasa Indonesia kain dari kulit kayu,
c.
Samata Guma (rapo sambale tambolona/tambolora Radua) artinya dalam
bahasa Indonesia sebilah parang jenis guma untuk menggorok leher
pasangan yang melakukan perzinahan,
d. Santonga dula (rapotande
balenggana /balengara randua) yang artiya dalam bahasa Indonesia
sepasang dulang tempat untuk menyimpan kepala,
e. Santonga tubu
mputi (posonggo raana /raara randua) sepasang mangkok putih untuk tempat
penyuguhan darah pelaku perzinahan yang disembelih,
f. Sudakana (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99).
g.
Pu’u dengan hitungan 15 buah sampai dengan 17 buah berupa suraya
(piring) jika lebih dari 10 mpu’u dilengkapi dengan suraya Mposanga
seperti Pinekaso, Tava Kelo dalam pelaksanaan libu dewan adat, jika hal
tersebut tidak ada, memungkinkan notovali (Nosambei) dengan piring
biasa.
h. Dalam versi Rai pelaku pelanggaran bagi perempuan disebut Nopangadi.
i.
Versi unde ditambah dengan 140 suraya tambah 15 ekor Kebe (aqiqa:
mengeluarkan 1 ekor kambing) semuanya dibagi 2 laki-laki dan
perempuan.
Givuna (Hukuman) di kenakan pada Laki-laki (nebualosi) :
a.
Sampomava Bengga ( satu ekor kerbau), dalam pendekatan Kaili Tara
apabila penyebutan hanya kata “Bengga” maka boleh digantikan dengan 5
Ekor Kambi/Tovaou Mporesi (kambing hutan), apabila penyebutan Bengga
Navuri Buluna (Kerbau hitam bulunya) adalah dikenakan kerbau sebenarnya.
b. Santonga dula (rapotande balenggana), Versi Kaili Tara dikenakan Dula Lena biasa.
c.
Santonga tubu mputi (posonggo raana), versi Kaili Tara dikenakan Tubu
Posanga seperti Tubu Mata Bengga dan boleh berbentuk tubu biasa.
d.
Sudakana (dalam bentuk mata uang Riyal dengan jumlah ganjil antara
sebelas (11) sampai dengan Sembilan puluh Sembilan (99). Pada masa kini
disesuaikan dengan nilai mata uang Rupiah.
Catatan : Givu harus
dibayar kepada perbendaharaan Negeri (Polisa Nuada:Rai, Sompo
Nuada:Ledo) dalam waktu yang ditetapkan oleh pengadilan adat dan apabila
Givu tersebut tidak dibayar pada waktunya maka keduanya akan dihukum
mati (nilabu) atau Nipanaa (mengingatkan kembali kepada pengadilan adat
dengan sanksi Nibeko yaitu dikucilkan dari masyarakat).
(Sumber : Balitbangda Propinsi Sulawesi Tengah)
0 comments:
Post a Comment
Tanggapan