Minta hujan, suku Kaili di Sulawesi Tengah jalani ritual Mora’akeke
Hujan yang tidak
pernah turun beberapa bulan ini membuat ribuan hektar sawah milik warga
di lima desa di Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah, mengalami kekeringan. Para tetua adat di Kabupaten Sigi pun
turun tangan dengan melakukan ritual adat minta hujan atau Mora’akeke.
Ratusan
warga dari Desa Oloboju, Bora, Sidera, Soulove dan Vatunonju di
Kecamatan Sigi Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah mulai
berdatangan untuk menyaksikan pelaksanaan ritual yang digelar pada awal
September 2015 lalu.Ritual ini bertujuan memohon kepada Tuhan untuk meredupkan sinar matahari yang menyebabkan kemarau panjang sekaligus menambah deras air Sungai Vuno yang mengering.
Di tepian Sungai Vuno, berbagai perlengkapan ritual prosesi adat Mora’akeke disiapkan.
Dua orang topogimba atau penabuh kendang mulai menabuh, pertanda prosesi dimulai.
Setelah menyembelih tiga ekor kambing di pinggir Sungai Vuno, para tetua adat menghanyutkan darah ketiga hewan tersebut sebagai persembahan untuk Nteka atau penguasa sungai dalam bahasa Kaili. Adapun daging ketiga ekor kambing itu akan dimasak oleh warga desa sebagai rasa syukur atas terselenggaranya ritual adat ini.
Seorang perempuan berusia 80 tahun, mengawasi semuanya. Namanya Harija. Ia harus memastikan bahwa semua berlangsung sebagaimana seharusnya: mengawasi semua kesiapan dari prosesi adat, mulai dari kondisi fisik hewan yang akan disembelih hingga sesajen yang akan dipersembahkan ke sungai.
”Adat ini hanya dibikin satu kali, jadi saya harus memastikan semuanya lengkap,” kata Harija kepada wartawan dari Palu, Erna Dwi Lidyawati.
Bayaha
Husni, salah seorang tetua adat setempat, mengatakan ritual adat Mora’akeke selanjutnya adalah menyembelih anjing dan babi di atas batang pisang dengan menghadap ke sungai atau Mora’abinangga. Pasti menyakitkan bagi penyayang hewan dan aktivis hak-hak binatang, namun disebutkan, ini syarat penting ritual Mora’akeke..Anjing dan babi yang akan disembelih harus yang belum berusia satu tahun. Adapun babi yang disembelih harus mengeluarkan suara jika mau diambil darahnya.
“Adatnya memang begitu. Kalau anjing harus dipotong putus di atas batang pisang dengan menghadap ke sungai. Kalau babi dipotong, cuma tidak sampai putus hanya diambil darahnya dan suaranya. Ini menandakan bahwa adat untuk permintaan dari orang-orang tua ini sudah bisa dikabulkan semua,” ujar Husni.
Ritual yang sudah dilakukan turun temurun itu selalu dipimpin seorang bayaha atau laki-laki yang berdandan seperti perempuan, yang juga keturunan bayaha sebelumnya.
Bayaha dalam ritual kali ini bernama Aco, yang berbusana perempuan adat Kaili.
“Saya ini laki-laki, saya tuan tanah sini. Saya berdandan seperti ini karena memang adat Sigi,” kata Aco.
Dengan mengenakan pakaian adat Kaili berwarna kuning dan hijau, Aco bersama dua perempuan paruh baya atau biasa disebut makatoko ka’ada mulai mengelilingi pohon Vunja.
Vunja ini merupakan pohon buatan, yang disusun khusus untuk adat seperti ini. Pohon vunja itu kemudian ditancapkan di tanah dan selanjutnya dihiasi dengan janur kuning dan digelantungi beberapa buah ketupat yang sudah dimasak sebelumnya.
Selain itu sesaji berupa nasi putih, pisang rebus, lombok mentah dan ayam bakar yang disusun di atas selembar daun pisang dijejer di depan pohon vunja. Aneka sesajian berupa sebungkus rokok, kapur sirih dan daun sirih juga melengkapi prosesi adat ini. Kemudian, mulailah mereka memutari pohon Vunja dengan terus diiringi tabuhan gimba.
Tabuhan gimba semakin cepat, ketiganya terus berputar mengitari pohon Vunja hingga salah satu makatoko ka’ada kemasukan roh dan kemudian jatuh. Gimba pun berhenti ditabuh.
Bercampur agama
Profesor Juraid Abdul Latief, dosen Antropologi Universitas Tadulako, Palu, mengatakan ritual adat Kaili di Kabupaten Sigi dan Donggala, Sulawesi Tengah, telah dilakukan sejak ratusan tahun silam. Namun, bedanya dengan masa lalu, ritual pada masa sekarang sudah bercampur dengan agama.“Ritual Mora’akeke sudah dilakukan bergenerasi-generasi. Tapi, kini ritual itu sudah agak berbeda karena adat dan agama disatukan,” kata Juraid.
Menurutnya, ritual tersebut sarat dengan simbol-simbol. Salah satunya ialah penghanyutan darah hewan yang disembelih ke sungai.
“Ini maksudnya adalah agar berkah mengalir seperti keluarnya darah. Darah memang selalu dilibatkan dalam setiap upacara adat Kaili yang sakral,” kata Juraid.
Disebutkan Juraid, ritual itu memaknai hujan dalam arti luas.
“Hujan yang diharapkan tidak hanya hujan air, tapi juga rejeki. Nah, rejeki itu bisa datang dalam berbagai wujud, termasuk hujan,” kata Juraid.
By Dimisril |
0 comments:
Post a Comment
Tanggapan